Masuk dengan tergesa ke kamar kelas dua yang di dalamnya terdapat dua buah brankar besi, Torra terkejut dan semakin kesal ketika tatapannya tak sengaja bersirobok dengan Laura, "Astaga, Maaa... Kenapa bisa kayak gini, sih?"
Semua kesalahan jelas tertuju pada Laura di isi kepala Torra, namun Theresa terus saja membelanya di sana, "Laki-laki itu mabuk, Mas. Terus mobilnya Laura ditabrak dari arah belakang, jadinya ya kendaraan depan juga ikut kena semua gitu. Ada sepasang suami istri juga tadi kena motornya sampai penyok parah, tapi untung merekanya selamat. Itu ada di kelas tiga. Laura tangannya sampai patah, Mama harus sendiri jadi nggak bisa duduk ini."
Theresa menyambar omongan putranya dengan begitu berapi-api, seolah kejadian itu memang sebuah kenyataan tanpa rekayasa terlebih dahulu, meninggal rasa penasaran akut untuk Torra dan juga Thomas yang baru tiba, "Terus orang yang nabrak di mana?"
"Sudah dibawa sama polisi dong. Orang itu kejadian deket pos Polisi pertigaan Oesapa menuju ke Penfui situ jadi langsung heboh sampai dipasangin police line segala." Terlalu khusuk bercerita, Theresa bahkan melupakan tujuan utamanya, membuat kedua bola mata Laura harus berkedap-kedip, melemparkan kode keras.
"Mama tahu dari mana? Bukannya langsung dibawa ke Rumah Sakit ya tadi?" Saat Thomas melontarkan pertanyaan, di situlah bahasa tubuh Laura dapat ditangkap oleh Theresa, dan membuatnya berdeham.
"Ih, Papa! Mama sama Laura tadi tuh kejepit di depan, Pa! Coba deh nanti ke Polda. Kaca belakang mobil sama bampernya rusak berat! Badan Mama aja sampai biru-biru semua dan-- Auwww...! Sakit!" Balasan dengan intonasi tinggi pun mengintimidasi Thomas yang sudah berani membuka suaranya, tapi tak sampai selesai, saat opera sabun mulai dimainkan oleh Theresa.
Torra jelas merasa cemas dengan kondisi ibunya, "Apanya yang sakit, Ma? Aku panggilkan dokter du--"
"--Nggak usah, Masss... Kamu di sini aja temenin Mama ya? Soalnya anak Mama cuma ada dua. Yang cewek udah nggak mau peduli lagi sama keadaan Mama, jadi yang cowok-- Auwww..." Selama tiga puluh dua tahun hidup di dunia, Theresa selalu mengajarkan Torra dan Vero untuk sebisa mungkin hidup sehat agar tidak rugi membeli obat ataupun membayar biaya dokter.
Jadi untuk menginap di Rumah Sakit dan berstatus sebagai pasien, Theresa jarang mendapatkannya selama ini, "Udah ya, Ma? Jangan bahas soal Vero la--"
"--Yang cowok harus jagain, Ma! Harus peduli kalau enggak nanti biar Mama mati aja!"
"Mama! Jangan aneh-aneh ya kalau ngomong! Sudah mendingan Mama bobo aja. Aku coba cek dokternya dulu, terus nanti aku temenin ya, Ma? Aku penasaran soal rekam mediknya Mama."
"Jangan lama-lama ya, Mas? Mama tungguin nih."
"Ck! Ada Papa di situ kan, Ma? Sebentar ya?" Tetapi kecemasan hanyalah sekedar kecemasan belaka, ketika nyatanya di isi kepala Torra kini kembali terlintas bayang-bayang Inna yang cantik.
Adalah Laura Wijaya yang akan selalu membuat Torra Mahardika demikian, sebab kedua wanita itu merupakan satu kesatuan utuh dalam bagian dari jejak asmara di hidupnya.
"Mas, aku mau ngom--"
"--Kita udah selesai, Laura Wijaya! Kalau memang kamu masih mau berhubungan dengan Mamaku, maka tolong bertemanlah yang baik dan benar. Jangan bawa Mamaku ke hal-hal aneh, atau kecelakaan lagi kayak gini. Kasihan, Ra. Untuk kondisi Papa yang sering anfal juga nggak bagus!" Semakin gencarnya Laura beraksi, maka sebenarnya ia sudah melakukan kesalahan besar yang tak kasat mata. Luka goresan di hati Torra masih membekas hingga kini, dan Inna adalah penyembuhnya kala itu.
Sayangnya Torra tidak pernah mengatakannya pada Laura, dan juga percuma untuk wanita dengan tingkat kepercayaan diri tinggi sepertinya. Segala daya upaya akan tetap terus dilakukan, tetapi kadang kala nyaris terlihat tolol seperti sekarang, "Jangan kayak gini, Tor! Aku--"
"--Katanya tanganmu patah? Kok bisa gerak ini? Jangan-jangan..."
"Kaki Mama sakit, Masss... Kamu katanya mau ngecek rekam mediknya Mama. Sini pegang-pegang kaki Mama aja yuk, nggak usah ke sana lagi. Duduk sini kelonin Mama." Beruntung Theresa segera bertindak, melakukan segala upaya untuk drama yang hampir menemukan episode tamatnya itu.
"Nanti ya, Ma? Torra ke sana dulu. Bye, Mamaaa... Pa, titip Mama bentar ya? Mbok Dar sudah otewe sini juga barusan kukirim SMS." Perbincangan pun bergulir ke lain sesi, namun tidak pada rencana yang sudah disusun matang-matang.
Tanpa mau menunggu balasan apapun lagi dari ibunya, langkah kaki Torra melebar ke arah pintu ruangan rawat inap kelas dua, menyisakan kekesalan Laura yang semakin berkobar dengan lelehan air mata. Firasatnya detail untuk Torra yang tak akan kembali lagi, tetapi ia tak bisa berbuat banyak ketika lupa membawa serta power bank dari dalam mobilnya yang ringsek.
Benar saja. Bukan rekam medik yang kini Torra maksudkan, tetapi pelataran parkir RSUD W.Z. Yohannes Kupang adalah tujuannya. Kendati demikian, ia bukan tipikal anak yang tidak tahu membalas budi, "Halo, Ver? Lu di mana?"
"Ada kasih makan anak nih. Kenapa lu telepon beta?" Ketika nama Veronika Mahardika melintas di kepalanya.
Video call melalui aplikasi whatsapp menjadi pilihan Torra untuk mempersingkat waktunya mengejar pesawat ke ibu kota, "Mama tua kena celaka di Kupang sini nih. Kerjaannya Laura maka dia juga kena. Lu tolong urus dulu e? Beta mau otewe Jakarta sedikit lagi."
"Ais. Baik tidak nih, Abang sayang e. Nanti Mama tua mengamuk beta lagi."
"Ck! Tidak ang! Lu pakai ini untuk cari kesempatan biar dapat hati Mama lagi toh? Mau sampai kapan lu biarkan Laura yang berteman dengan Mama? Padahal lu yang dia punya anak perempuan kandung maka. Ada Bapa tua juga di sini yang bantu lihat dengan Mbok Darmi, Veronika Mahardika eee... Kasih makan cepat itu anak sudah ko lu terus di sini e? Jangan bilang kalau beta yang suruh. Bikin sengaja bodok saja kalau Mama tua tanya-tanya beta. Bisa toh, Ade manis?'
"Hi, laki-laki sial memang lu tuh. Lu pergi lihat Inna sekalian juga toh, Bego! Ko lu chat di Whatsapp katanya dia sudah pulang ke Jakarta."
"Itu toh makanya. Lu tidak usah ajar beta e, Vero. Memang tujuannya sekalian pesan bahan material ko kirim lewat kapal barang. Bisa bangkrut beta kalau beli lewat Kupang semua. Tidak ada modal untuk ikut kampanye tahun depan ang."
"Nanti biar Daniel bantu e, Mas? Biar dia bisa berkembang juga ikut ajaran Mas."
"Eh, persetan dengan dia situ. Nanti-nanti saja. Nah sudah dulu e, Ver? Salam beta punya kesayangan dua di situ tuh."
"Bawa oleh-oleh, Om Toto. Baju baru untuk si kecil dua nih dengan celananya sekalian. Ukuran badan nanti beta kirim detailnya di chat. Tambah hari tambah tinggi ko bikin tekor beli baju baru terus-terus. Awas sampai lupa! Beta marah nah tahu toh?"
"Hem, tenang. Sudah, Ver. Beta buru pesawat nih. Daaa..."
"Daaa..." Dan bersyukurlah Torra ketika Veronika tetap menjadi adik yang manis, kendati sikap memberontak pernah terjadi dan membuat kasih ibu semakin berjarak dengannya.
Batin dan raga kini semakin terbungkus rapi, sedikit menurunkan pundaknya yang sejak tadi terasa sangat berat, namun lebih dari itu, tak ada janji dapat secepatnya mengecap kebahagiaan lagi di sana. Perjuangan belum usai untuk sampai ke sana, bahkan mungkin baru saja dimulai, ketika wajah Aldi Wiryawan ikut terisi di kepalanya.
Setir mobil adalah saksi bertapa kesalnya seorang Torra Mahardika, dan entah sampai kapan ia akan terus seperti itu, "Awas aja kau, Dokter bajingan! Aku bakal buat perhitungan kalau sampai Inna berpikiran buruk terus tentang aku!"
Pengkhianatan memang selalu menyakitkan dalam sebuah ikatan sakral, dan seringnya akan berujung dengan rasa yang berjarak. Tidak semua manusia terlahir bersama lusinan kemurahan hati, termasuk Inna Bastari sekeluarga, ketika logika menyatu dengan kepedihan di satu waktu yang salah. Benar begitu? Selamat mencobanya...
****
BERSAMBUNG. JANGAN LUPA FOLLOW AKUN WATTPAD TEMENKU YANG NAMANYA @MemeyMecxa2 YA, BEB. SAMPAI JUMPA LAGI. BUBAYYY...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...