Tiga🍂

2.6K 551 141
                                    

Sekonyong-konyongnya pacar terlihat tak peduli, tetap akan khawatir saat gadisnya terluka, ia akan melindungi atau mungkin mengerahkan yang terbaik untuk pasangannya. Begitu juga yang Satya lakukan saat Vita terjatuh ke aspal dan terluka ringan.

"Lo gimana sih Vit? Jalan aja bisa jatoh." Satya mendengus, memoles alkohol pada lulut Vita.

Konyol, padahal cuma jalan. Tapi Vita tidak melihat ada batu besar yang menghadang hingga menyandung dirinya.

"Iya...." Vita tersenyum getir, membiarkan Satya terus mengobati lukanya. Keduanya saling membungkam, hanya dibalut keheningan. Lokasi mereka tengah berada di bawah pohon rindang, suara nyanyian angin mengalun di telinga masing-masing.

Sampai Vita teringat sesuatu. "Eum, Satya."

"Hm?" Ia menyahut sambil fokus merekat perban.

"Ergh...." Ragu, Vita menggarut tengkuk belakangnya.

"Bilang aja."

"Ergh." Kali ini gadis itu menggarut hidung. "Anu, apa hubungan kita cuma bisa backstreet doang?"

"Kenapa? Lo nggak suka?" Aksi mengobati Vita telah selesai, Satya mengemas p3k yang tadi ia beli dengan terburu-buru di supermarket.

"Bukan, maksud aku, kenapa nggak lebih baik pacaran terang-terangan aja?"

"Gue ngerasa backstreet lebih baik."

"Tapi---"

"Gue lebih suka gini, Vit." Satya menatap Vita intens, tepat masuk ke dalam manik cokelat legam itu, seolah ingin menghipnotis Vita agar mau menuruti perkataannya. "Backstreet atau enggak itu nggak berhubungan sama rasa sayang kita. Lo sayang sama gue, kan?"

Anggukan Vita membuat Satya tersenyum tipis. "Pinter. Intinya kita saling sayang."

Bahu Vita berguncang hebat, dirinya menangis menahan isak tangis. Napasnya tersendat-sendat. Demi apapun hatinya sangat sakit. Satya berani menipunya sampai sejauh ini. Mengapa ia begitu bodoh? Mengapa ia mau menuruti semua kebohongan belaka itu? Saat ini, hanya dia yang tersakiti. Hanya dia yang menanggung rasa menyedihkan ini.

"Ibu Vita," panggil seorang perawat. "Silakan masuk ke ruangan dokter."

Vita mengusap wajahnya menggunakan lengan sweater. Berdiri, perlahan kakinya melangkah memasuki ruangan yang dipersilakan sang perawat. Setiba di dalam, ia langsung berhadapan dengan sang dokter. Dokter seperti terkejut melihat wujudnya. Ya, Vita tau, mungkin dokter tidak menyangka Vita masih anak remaja SMA.

"Mama kamu ... mana? Siapa yang mau dikonsultasi?"

"S-saya, Dok."

Dokter itu terperangah dalam beberapa detik, namun di detik selanjutnya ia mengerti lalu mengangguk. "Baik, silakan duduk."

Vita segera duduk di kursi yang tersedia. Dokter mulai memakai Elektrokardiogram dan mendeteksi perut Vita.

"Ayahnya mana?" tanya sang dokter selagi fokus mendeteksi.

"Sebelumnya saya udah pernah ke sini," jawab Vita, berbeda dari yang ditanya.

"Ah?" Dokter kembali ke tempat duduk, melepas Elektrokardiogram dari telinga. "Dokter lain yang konsultasi kamu?"

Vita mengangguk.

"Oke gini, usia kamu sekitar 18 tahun?"

Lagi, Vita mengangguk sebagai jawaban.

"Sepertinya ini nggak akan berhasil."

"Ma-maksudnya, Dok?" Mata Vita berkaca-kaca, perasaan buruk datang menghampirinya begitu saja.

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang