Cup!
"Kalo bibir nggak bisa di cium, kening juga nggak apa-apa." Entengnya setelah ia berhasil mendaratkan bibirnya di atas keningku. Ia berlalu duduk di sofa depan TV. Melepas jaketnya, menyisahkan seragamnya yang sudah berantakan.
"Orang nggak tau diri itu cuma lo, Bum!" Pekikku. "Lo pulang aja sana, gue mau tidur!" Usirku menatapnya tajam.
"Gue nggak akan pulang sebelum lo obatin gue!" Ancamnya. Bumi pun merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan wajahnya ia tutupi jaketnya. Ia melipat kedua tangannya di atas dadanya.
Aku melihat jam yang sudah menunjukkan hampir jam 3 sore. Sebentar lagi Bimaa pulang. aku tidak ingin Bimaa kembali bertemu Bumi. Apalagi keduanya saling mengenal, itu akan membuat Bumi lebih lama di rumahku. Aku pun tidak ingin sampai Bia dan Baba melihat Bumi. Mereka akan berpikir jika Bumi adalah pacarku, terlebih jaketnya pernah aku pakai. Walau aku tau, Bia atau Baba tidak akan marah, aku membawa Bumi. Hanya saja aku tidak ingin mereka tau aku memiliki teman seperti Bumi.
Terpaksa aku mengambil kotak obat di dapur. Aku harus segera mengobati. Aku berdiri tepat di sampingnya yang masih menutupi wajahnya dengan jaketnya. Aku menepuk lengannya yang masih ada di dadanya. Bumi membuka jaketnya, ia pun menatapku kembali, jangan lupakan bibirnya yang kembali tersenyum.
"Duduk." Ucapku.
Bumi pun menurutiku, ia duduk dengan kaki menyila. Aku duduk di depannya dengan kotak obat sudah aku letakkan di atas meja. Sebelum mengobatinya, aku mengeluarkan ikat rambut dari pergelangan tanganku. Ketika aku sedang mengumpulkan rambutku, Bumi menahan tanganku. Merampas ikat rambutku dan membalik tubuhku menjadi memunggunginya.
"Gue aja yang iketin rambut lo." Ucapnya pelan. Bahkan nafasnya sampai mengenai leherku. Aku hanya diam, tidak menanggapinya. Setelah di rasa rapi, Bumi kembali membalik tubuhku, menghadapnya kembali.
"Bener deh, cantikan di kuncir." Ucapnya entah pada siapa.
Aku hanya diam. Aku mengambil kapas dan air alkohol untuk membersihkan lukanya. Jarakku dengan Bumi terlalu jauh. Tidak mungkin aku mendekatinya. Aku memasang wajah kesal. Sungguh aku tidak sanggup di tatap dengan wajahnya yang terlihat lebih ganteng dengan beberapa luka di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tinggal Kenangan
Teen FictionIni kisahku di 10tahun lalu, semasa aku masih menjadi remaja labil. Tentang cinta pertama yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Sebelum mengenalmu--- Aku pernah patah hati, tetapi tidak pernah sesakit karenamu. Aku pernah bahagia, tetapi aku ing...