DUA PULUH LIMA

174 39 2
                                    


Lilia POV

Bu Nino masih duduk di ruang tamu apartemenku. Kami memutuskan untuk ke tempatku dulu sambil menyusun rencana dengan tenang. Meskipun masih ada sedikit kecemasan kalau-kalau orang-orang suruhan Indira datang kemari. Tapi ini saja tempat yang bisa kami datangi saat ini.

Butuh waktu berendam hingga tiga jam baru semua bau karat dan tak sedap yang menempel di tubuhku selama terkurung itu bisa hilang. Dengan perlahan aku berusaha meluruskan kakiku untuk duduk di bangku depan kaca rias. Rasanya seluruh sendiku benar-benar pegal.

"Kau masih hidup" gumamku menghadap kaca.

Hanya dalam hitungan detik mataku rasanya mulai menghangat. Air mata mengalir begitu saja dari kedua mataku. Ku pikir, tak akan pernah lagi aku bisa menatap wajahku di cermin. Sebab dalam bayanganku saat itu, kami hanya tinggal menunggu waktu kematian masing-masing. Tanpa ada yang menguatkan dan menemani.

"Bagaimanapun kami harus kembali" gumamku lagi. "Pak Oji, Kak Dilla" lirihku menyebut kedua nama orang itu sambil berusaha menyisir rambutku yang telah kusut menggumpal.

Entah bagaimana kondisi mereka saat ini. Di satu sisi aku bahagia telah terbebas dari kuburanku sendiri. Tapi di sisi lain, aku merasa bersalah karena tak membawa mereka berdua bersamaku. Tapi bukankah seseorang harus hidup, agar bisa meminta bantuan ke dunia luar. Harusnya dari awal kita memang meminta bantuan polisi. Lagi pula kasus terbunuhnya beberapa orang di daerah ini juga hampir seperempatnya adalah kelakuan Indira. Psikopat gila sepertinya tak bisa dihadapi dengan tangan kosong.

Setidaknya untuk malam ini, kami harus tidur dengan nyenyak agar bisa menjalankan rencana kami dengan benar. Meskipun aku tak tahu rencana seperti apa yang akan bu Nino pakai untuk menangkap dan menghentikan adiknya sendiri.

***

Dan tidurku benar-benar nyenyak. Bagaimana tidak, aku bahkan tak berpindah dari depan kaca rias untuk baring dengan benar di kasur. Semalaman aku tertidur di depan kaca tanpa merasa risih.

Aku berjalan gontai ke depan, mencari tahu apakah ia telah punya rencana untuk menyelamatkan Mas Bayu dan Lydya. Meskipun jelas pilihan membawa polisi dalam kasus ini adalah pengecualian. Mana mungkin seorang kakak mau menjebloskan adiknya sendiri ke dalam penjara.

Seperti dugaanku. Sepertinya bu Nino benar-benar tak tidur semalaman. Tampak jelas kantung mata di wajahnya yang tak muda lagi itu, semakin bertambah saja.

"Bagaimana bu?" tanyaku tepat ketika telah duduk di depannya.

"Kita harus memimta bantuan polisi!" ujarnya begitu yakin menatapku.

Rasanya seperti seseorang baru saja berhasil menusuk jantungku dengan belati tumpul. Sekejap keraguanku padanya langsung hilang.

"Kau serius?" tanyaku memastikan apa yang ku dengar bukan kesalahan.

"Ia tak bisa dihentikan kalau hanya kita berdua kesana" jelasnya.

"Tapi..."

"Yang harus kita pahami, dia tak bekerja sendiri" tambah bu Nino tanpa mengizinkanku berpendapat. "Ada banyak orang di bawahnya, dan kita tak tahu pasti berapa jumlah sebenarnya"

Aku mengangguk. Kali ini tak mau berkomentar apa-apa dulu. Sepertinya keputusannya sudah bulat. Lagipula, kalau sekedar ingin mempertanyakan apakah ia tak memikirkan resiko apa yang kan terjadi pada indira, sepertinya itu hal pertama yang telah ia pertimbangkan. Kalau tidak, tak mungki ia bisa seyakin ini.

Kali ini aku memandangnya dengan cara yang berbeda. Seseorang yang sebelumnya sebagai orang yang terlalu acuh, sepertinya sekarang benar-benar ingin bertanggung jawab atas kesalahannya. Dua jempol untuknya.

"Lalu bagaimana rencananya?" tanyaku lagi.

"Kita akan mengepung mereka dari semua kemungkinan pintu masuk yang ada"

"Kapan bergeraknya?" tanyaku.

"Malam ini" ucap bu Nino. "Kita tak bisa menunda lagi, dengan alasan apapun itu"

Kepalaku tanpa sadar ikut mengangguk sendiri. Apapun bisa saja terjadi saat ini, wanita gila seperti Indira jelas tak bisa diprediksi kegilaannya. Sebuah kegilaan yang benar-benar random, kurasa.

"Dan satu hal lagi" ujar bu Nino. "Kau tak bisa mempercayai siapapun ketika kita sampai di sana" ujar bu Nino sambil menunjuk topeng kepala dari kulit sintetis yang kami pakai kemarin untuk kabur. Benda itu, entah sudah berapa kali menipuku dengan mudah.

***

Semuanya telah siap. Malam ini, apapun yang kan terjadi kami pun telah tau konsekuensinya apa. Aku melihat tubuh bu Nino bergidik. Entah karena malam ini yang begitu dingin, atau karena ia sadar bahwa kemungkinan terbesar yang akan terjadi dari pengepungan ini hanya dua, entah Indira ditangkap dan dipenjara, atau justru ditembak mati di tempat.

Dari awal melihat sosok Indira, aku sudah tahu kalau ia keras kepala. Apalagi sekarang aku menyadarinya bahwa ia tak hanya seseorang yang keras kepala, tapi juga gila. Mana mungkin ia mau mengalah begitu saja. Ya, meskipun semuanya bisa saja terjadi. Seperti perkiraanku tentang bu Nino yang ternyata meleset.

Kami berdua masuk tanpa menggunakan topeng. Agar setidaknya kami tahu kalau kami berdua tak perlu dicurigai. Gelang pelacak yang diberikan polisi di tangan kiri kami rasanya juga akan cukup membantu. Empat orang polisi berjalan di belakang kami, sementara yang lainnya berjaga di tiap pintu masuk yang mungkin ada. Meskipun bu Nino hanya tahu dua pintu masuk.

Pertama pintu msuk dari ruang bawah tanah kantor indira. Dan kedua pintu masuk langsung dari bangunan bekas pabrik yang ternyata sekarang menjadi gudang penyimpanan bahan baku pakaiannya Indira. Kalau dipikir lagi, kenapa harus melakukan hal bodoh, kalau sebenarnya kehidupannya sudah sesukses ini.

"Kita mulai" ujar bu Nino menoleh ke arahku dan empat orang polisi yang menemani kami.

Ia membuka pintu besi di lantai itu. Suara derit gesekan besi tua itu berdengung di dalam ruangan bawah tanah ini. Persis sama seperti terakhir kali kami keluar dari pintu ini.

Apapun yang terjadi, siap tak siap, kami hanya ingin menyelesaikannya dan pulang.

***

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang