Jihan masuk kelas dengan sopan dan guru pun mengijinkannya masuk tanpa bertanya alasan ia terlambat. Sepanjang ia berjalan menuju bangkunya yang berada di pojok paling belakang, banyak pasang mata yang meliriknya dengan sinis.
Ia mendudukan pantatnya pada bangku yang sudah ia cap menjadi miliknya, bangku pojok paling belakang, dan tanpa seorang teman yang duduk disampingnya. Memang tak ada yang mau duduk bersebelahan dengannya dengan alasan yang terlalu dibuat-buat. Bahkan ia pernah bertanya dengan salah satu temannya dan bukannya mendapat jawaban, ia malah mendapat hinaan dan cacian. "Dengan tampang dan tampilan lo kayak gini, jangan harap dapat teman atau teman sebangku," begitu katanya.
Beruntung Jihan tak pernah memasukan itu semua ke dalam hatinya, jika tidak mungkin ia sudah memiliki dendam melebihi puncak gunung Fuji. Ia hanya akan mendengarkan itu semua dari kuping kana dan berakhir keluar dari kuping kiri.
Jihan mengeluarkan buku catatanya dan mulai mencatat materi yang dijelaskan guru di depan kelas.
***
Julian tengah berada di rooftoop sekolah saat jam istirahat bersama seorang gadis yang diyakini bernama Jingga, adik kelasnya. Mereka tengah duduk di sofa tua yang Julian temukan tahun lalu di gudang. Mereka menghadap langsung kearah lapangan basket yang saat ini tengah sepi.
"Tadi pagi aku nabrak kakakmu," ucap Julian hingga Jingga menoleh kearahnya. "Terus?"
"Lebih tepatnya Jihan yang nabrak aku, dan dia jatuh terus tangannya ku injek." Julian sama sekali tak bercerita tentang ia yang tak sengaja memeluk Jihan. Ia takut kekasihnya yang notabenya adik dari Jihan itu akan cemburu ataupun marah padanya.
Reaksi Jingga hanya tertawa puas. Jujur saja, ia malu mengakui Jihan sebagai kakaknya disekolah karena perbedaan penampilan mereka. Jingga begitu modis layaknya gadis seusianya dengan rambut hitam panjang, kulit putih, dan bibir yang berwarna pink karena efek liptint yang ia pakai setiap pagi. Berbeda dengan Jihan yang sangat sederhana dengan rambut yang hanya di kepang dua, poni menutupi dahi, dan kacamata bulat besar yang tak pernah lepas menggantung di hidungnya.
Perbedaan mereka begitu kentara, bahkan banyak orang yang mempertanyakan kebenaran tentang kekakak-adikan mereka. Jihan dan Jingga hanya dia. Mereka memiliki alasan masing-masing.
"Dia beneran kakakmu?" tanya Julian suatu hari.
"Kenapa?"
"Dia beda sama kamu. Dia kayak itik buruk rupa sedangkan kamu seperti angsa." Jingga tertawa senang mendengarnya saat itu. Ia senang saat kakaknya dihini seperti itu dihadapannya.
***
Jihan memasuki rumahnya, ia baru saja sampe rumah. Ia melihat adiknya tengah merebahkan tubuhnya pada sofa dengan hp yang tak lepas dari pandangannya, nampaknya ia telah pulang sejak setengah jam yang lalu dan mungki saja diantar oleh Julian. Terlihat dari pakaiannya yang telah ganti menjadi pakaian rumahan.
"Kamu udah pulang Han?" tanya Iren, mamanya yang saat itu baru saja turun dari lantai atas. Jihan hanya mengangguk. "Iya, ma."
"Oh iya, nanti malem kamu dandan yang cantik, ya."
"Emangnya kak Jihan bisa jadi cantik gitu?" sahut Jingga dengan sinis tanpa mengubah posisinya. Iren langsung menoleh dan memberikan delikan tajam, tapi Jingganya mah cuek-cuek aja.
"Emang ada acaranya apa? Sampe aku harus dandan," tanya Jihan.
"Udah, nanti kamu juga tau. Kamu tinggal nurut aja sama Mama." Jihan mengerutkan dahinya bingung tapi ia tetap mengangguk juga menyetujui mamanya. Ia pamit ke kamarnya.
Saat sampe ke kamarnya, Jihan langsung meletakkan tasnya dipinggir meja belajar. Ia juga melepaskan kacamata bulatnya dan meletakkanya pada nakas dekat dengan ranjang.
Jihan langsung mengambil salah satu koleksi novelnya yang ada di raknya dan langsung memposisikan tubuhnya tengkurap pada ranjang. Tak ada yang tau kesukaannya pada novel selain keluarganya saja.
Jihan tak jadi membuka novelnya, ia malah kembali menutup dan hanya menggenggamnya. Ia kembali berpikir, ada acara apa nanti malam untuknya dan membuatnya harus berdandan. Jujur saja ia tak bisa untuk berdandan, karena menurutnya itu bukanlah mencerminkan dirinya.
Ah, udahlah pikir nanti aja. Lagian acaranya juga masih nanti, ucapnya dalam hati. Jihan membalik dirinya kemudian mulai memejamkan matanya. Ia butuh istirahat sebentar dari kegiatannya sejak pagi tadi.
***
Jihan turun dari tangga dengan penampilan seberti biasanya hanya saja yang membedakannya sekarang ia memakai dress biru toska yang cocok sekali dengan kulit putihnya.
Ia menghampiri kedua orangtuanya yang tengah duduk di sofa ruang tamu, terlihat tengah menunggu tamu. Iren menatapnya dengan menaikan salah satu alisnya. "Kenapa penampilanmu seperti itu?" tanyanya.
Jihan menatap baju yang ia kenakan saat ini. Ia merasa tak ada yang salah dengan penampilannya saat ini. "Emang penampilanku kenapa? Biasanya juga kayak gini kan."
"Kenapa nggak kamu urai aja itu rambutmu, terus pake bedak gitu biar keliatan anggun." Saat istrinya tengah memberikan ceramah penampilan pada putri pertamanya, Dika malah asik dengan tab ditangannya.
"Bukan aku banget, Ma," jawab Jihan. "Lagian cuma makan malam doang kan, paling juga sama rekan kerja papa."
"Kata sapa cuma makan malam biasa, kamu itu mau..." Ucapan Iren terputus karena suara bel rumah. Iren dan Dika beranjak untuk membuka pintu.
Tak berselang lama, Iren dan Dika kembali diikuti 4 orang tamu dibelakangnya. Jihan melongo tak percaya, bahkan ia sampe berkedip beberapa kali saat ia mengenali salah satu tamu itu. Julian. Yang membuatnya semakin melongo adalah ia melihat seseorang yang sangat mirip dengan Julian.
Apa Julian kembar? tanyanya dalam hati. Saat Julian melihat Jihanpun, ia juga membelalakan matanya. "Lo ngapain disini?" tanyanya sambil menunjuk wajah Jihan.
"Rumah gue," jawab Jihan singkat. Tapi karena jawaban itu, membuat rahang Julian seakan mau jatuh. Ia kaget tak percaya.
Ia tak tau kalau rumah ini adalah rumah Jihan dan Jingga. Pasalnya ia tak pernah diajak kekasihnya untuk mampir, ia hanya akan mengantarkan Jingga di depan komplek sesuai permintaan gadis itu.
Jingga turun dari lantai atas dengan anggun. Gadis itu memakai dress berwarna sama dengan namanya, rambut panjangnya ia urai dan terdapat jepit rambut kecil sebagai hiasannya. Julian menatapnya dengan tatapan memuja.
Saat telah sampai di anak tangga terakhir, ia baru sadar kedatangan kekasih beserta keluarganya. "Lho kamu kok bisa kesini?" tanyanya sambil berjalan menghampiri.
Julian hanya menggeleng dan mengedikkan kedua bahunya. "Nggak tau."
Dika berdehem untuk membuka percakapan. "Saya berterimakasih kepada keluarga bapak Arya yang telah meluangkan waktu untuk kesini."
Arya yang merupakan ayah dari Julia itu terkekeh. "Halah formal amat. Kita kumpul seperti ini kan mau bahas tentang perjanjian kita."
"Perjanjian apa?" sahut Julio-kembaran Julian-penasaran yang langsung mendapat tabokan di pahanya dari Jasmine-bundany-sebagai kode untuk bersikap sopan.
"Langsung saja ya, sepertinya ada yang tidak sabar," kekeh Dika. "Jadi isi perjanjian itu adalah sebuah perjodohan."
"APA?!" seru Jihan, Jingga, Julian, dan Julio terkejut.
***
Fairahmadanti1211
KAMU SEDANG MEMBACA
Julian Untuk Jihan [COMPLETED]
Fiksi RemajaRank #8 julio [2 September 2020] Rank #6 julio [11 September 2020] Rank #5 julio [14 September 2020] Rank #10 takdianggap [19 Oktober 2020] Rank #9 takdianggap [2 November 2020] Rank #4 julio [22 November 2020] Rank #7 takdianggap [1 Januari 2021] R...