PART 25

3K 329 62
                                    

"Sabar, Nduk. Kita makan dulu ya? Itu Nak Aldi sudah beliin kamu ketoprak dari Jalan Jaksa di Jakarta Pusat sana masa kamu cuekin, sih? Kasihan kan dia nungguin?" bujuk Indri Bastari yang saat ini sedang membelai surai hitam legam putrinya. Ia berada di balik punggung dengan perasaan cemas, mendengar tangisan yang tak kunjung reda.

Ya, itu memang benar adanya. Lari ke dalam kamar dan menangis adalah dua hal yang terjadi pada diri Inna Bastari. Pernikahan bahagia yang digadang-gadang kini hancur berantakan, terlebih ketika kini Torra Mahardika masih berusaha mencarinya. Dosa dalam lembaran foto yang pernah Inna lihat, merusak segala pikiran dan juga tembok kesabarannya.

Menurutnya menangis merupakan cara yang tepat untuknya saat ini, karena ia pun sama berdosanya seperti Torra. Melakukan hal panas di dalam kamar rawat inap saat sedang badrest adalah dosa yang dimaksud oleh logikanya, kendati tidak separah apa yang dilakukan oleh Torra dan Inna.

"Suruh Kak Aldi pulang aja dulu, Bu. Bilangin makasih sudah mau anterin Ketopraknya ke sini," sahut Inna, setelah ucapan Indri cukup lama diabaikan. Kerutan di keningnya kian dalam terjadi, dan hal itu juga tercipta di wajah sang ibu.

"Kenapa disuruh pulang sekarang, sih, Nduk. Ibu kan mau buru-buru beresin seragam kantornya Bu Tuti yang udah ditanyain orangna dari kemarin tuh. Dia juga masih ada di teras depan. Nanti kalo Nak Aldi pulang terus kita diapa-apain gimana? Ibu takut sekarang sama Nak Torra itu, Nduk. Ngeri ibu ngebayangin bagaimana kejamnya mereka sampai kamu bisa terguling di tangga." Indri bahkan mencurahkan kecemasannya pada kehadiran Torra yang tak kunjung pergi, menyebabkan tubuh lemah Inna beranjak dari posisi tidur menjadi terduduk.

Tatapan mata Indri, tercurah ke arah putrinya sembari ikut membenahi anak rambut yang berantakan. Deru napas yang terdengar cepat juga terlahir dari dalam diri Inna, sebelum ia akhirnya mengambil satu keputusan untuk membuat ibunya dapat melanjutkan kembali jahitannya tanpa ragu, "Aku suruh Kak Aldi pulang karena nggak mau dia ikut campur terlalu jauh sama urusan kita, Bu. Kak Aldi boleh peduli dan memang baik nggak pakai pamrih, tapi tetap aja dia itu bukan saudaranya kita. Dia orang lain yang menurutku sudah terlalu banyak ikut campur, karena Mas Torra nggak akan berhenti sampai aku ngasih penjelasan. Ibu tahu kan dia kayak apa?"

Mendengar ucapan tersebut, Indri menjadi semakin bingung dengan sikap Inna. Yang wanita paruh baya itu inginkan adalah keduanya jangan berkomunikasi lagi, namun dirinya sadar betul jika hal itu tidak mungkin dihindari seterusnya. Satu anggukan kepala darinya sebagai tanda setuju keluar begitu saja tanpa bisa dicegah, lalu bergegas bangkit dari tempat tidur.

Indri tak lagi menoleh ke arah Inna, saat dirinya harus menemui Aldi, menyampaikan pesan yang putrinya katakan tadi. Itu semua karena dirinya sedang menahan bendungan air matanya agar tetap terlihat kuat dan tegar, tetapi hanya sebatas sampai di situ saja.

Ketika wajah penuh pertanyaan Aldi bertemu dengan mata sedihnya, saat itulah Indri  sudah tak lagI bisa menahan bendungan itu. Ia menangis sembari melangkah getir, dan segera mendapatkan pelukan hangat dari sang Obygn.

"Kenapa, Bu? Inna mana? Dia nggak kenapa-napa kan?!" Dua pertanyaan, keluar begitu saja dari pita suara Aldi bersama matanya yang menatap ke arah pintu kamar Inna. Ia khawatir dengan sikap yang ditunjukkan oleh wanita paruh baya dalam dekapannya, namun tak bisa lagi berbuat sesuka hati seperti biasanya.

"In..na bilang ibu disuruh ngusir kamu, Nak Aldi. Dia mau bicara sama Torra katanya. Ibu takuttt...!" lirih Indri masih menangis, namun sudah berusaha untuk sedikit menjauh. Satu tarikan panjang Aldi secara tak sengaja tertangkap mata Indri, tetapi ia tak bisa berbuat banyak selain meminta pengertian dokter kandungan itu.

Berusaha untuk mengerti dengan permintaan Inna, senyuman hambar Aldi tergambar untuk Indri. Ia mengambil kantong plastik putih berisi tiga bungkus ketoprak pesanan Inna yang tadi berada di atas meja kayu, lalu menyodorkannya sembari berkata-kata, "Nggak usah takut, Bu. Apa yang Inna bilang itu sudah bener kok menurut saya. Mereka berdua sedang dalam masalah, jadi memang harus saling bicara biar ada solusinya kan, Bu?"

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang