39 // Sindiran Keras

3.5K 321 14
                                    

A/n: Vote dan KOMEN YG BANYAK, yaaa!:)
.
Semoga suka <3
.
HAPPY READING!💞

🐁🐈

Kedai soto ayam sore ini lumayan ramai oleh pengunjung yang salah tiganya adalah Ocha, Meyka, dan Cara. Mereka bertiga masih mengenakan seragam sekolah. Karena sebelumnya, mereka sempat janji agar mengunjungi kedai itu untuk menemui seseorang di jam pulang sekolah.

Entah kenapa tidak ada euforia yang muncul dihati Ocha, padahal sebentar lagi ia akan menemui seseorang yang dicintainya. Ya, Kafka—cowok yang sejak kecil sudah menjadi sahabatnya. Ocha sendiri juga bingung. Meyakinkan terus pada hatinya, bahwa euforianya—mungkin—terkalahkan oleh rasa kesal karena cowok itu tidak menemuinya sejak tiga minggu. Jelas, itu alasan utamanya. Bukan karena perasaan Ocha untuk cowok itu sudah hilang.

"Gimana kalau Cara jadian sama Kafka aja, Cha? Kayaknya cocok ya mereka." Meyka memulai obrolan, sangat senang sekali mencomblangi sahabatnya.

Ocha bergumam panjang, entah kenapa ia tidak merasa kesal mendengar ucapan Meyka. Padahal dua minggu yang lalu, saat Meyka berusaha menjodohkan Cara dengan Kafka, Ocha rasanya ingin mengumpat sahabatnya sendiri. Tapi sekarang? Tidak ada rasa marah atau cemburu sedikit pun.

Ocha jadi terus bertanya pada hatinya. Apa perasaannya untuk Kafka sudah lenyap begitu saja? Hanya karena mereka tidak bertemu tiga minggu? Padahal dulu, sewaktu Kafka pacaran dengan Gladis. Dan cowok itu memutuskan untuk menjauhi Ocha selama enam bulan, perasaannya tetap tumbuh dan seakan tidak pernah mati untuk Kafka. Tapi kenapa sekarang berubah secepat ini?

Ocha menggeleng. Pasti ada yang salah dengan hatinya. Kenapa sekarang Ocha jadi labil dengan perasaannya sendiri. Tapi dengan cepat ia menepis jauh, tidak mau memusingkan hal tersebut.

"Mungkin," sahut Ocha.

Meyka tersenyum bangga atas persetujuan Ocha kali ini, membuat Cara tambah cemberut.

"Lagian gue jamin, lo pasti suka sama dia," ucap Meyka dengan menggebu-gebu. "Pokoknya cakep deh orangnya."

Cara memutar bola mata malas. "Gak minat mau dia secakep apapun."

Meyka berdecih, awalnya saja Cara bilang seperti itu, bisa saja nantinya kepincut 'kan?

"Gini deh, Pahlevi aja punya banyak cewek. Kenapa lo gak bisa untuk punya banyak cowok? Ya minimal satu deh, buat manas-manasin Pahlevi." Meyka mengompori Cara agar mau dengan Kafka.

"Gunanya apasih?" tanya Cara malas.

"Buktiin Pahlevi cemburu atau enggak. Kalau dia cemburu dan marah liat lo jalan atau deket sama cowok lain, itu tandanya dia suka sama lo," jelas Meyka, seperti sudah ahli dalam hal percintaan.

Cara meringis. "Kalau enggak cemburu?"

"Ya lebih bagus," sahut Ocha cepat.

"Kok gitu?" Cara mengerucutkan bibirnya, merasa sedikit kesal dengan dua sahabatnya karena tidak ada yang mendukung hubungannya dengan Pahlevi. Eh, hubungan ya? Jelas-jelas mereka berdua tidak mempunyai status. Atau lebih mengenaskannya, mereka disebut friendzone.

"Ya bener dong kata Ocha, itu lebih bagus. 'Kan nanti lo bisa beneran jadian sama Kafka." Meyka kembali mencomblangi.

Cara menggerutu. "Kafka lagi, Kafka mulu, Kafka terus."

Meyka terkekeh, lalu fokusnya beralih untuk menatap Ocha. "Gak apa-apa 'kan, Cha? Kalau Cara nantinya beneran jadian sama Kafka?"

"Eh?" Ocha bingung.

Married with Enemy [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang