"Mas udah punya pacar belum?"
Aku menghentikan tegukan kopi yang sedang aku minum. Kata-kata itu membuatku terdiam.
Memang bukan di arahkan kepadaku. Itu adalah pertanyaan dari seorang wanita pada temannya di meja sebelah.
Namun kalimatnya membuat ingatanku melayang jauh beberapa tahun lalu.
Dia.
Salah satu kenangan terindah sekaligus paling menyakitkan. Manusia paling egois namun paling kurindukan hingga saat ini.
***
"Pintu akan ditutup.. Pintu akan di tutup... "
Mataku menatap lurus ke arah pintu-pintu kereta di depan sana. Setelah yakin seluruh penumpang sudah masuk, aku memberikan kode "ok" pada masinis di depan sana. Pintu kereta pun tertutup dan perlahan mulai berjalan.
Namaku Namjoon, aku adalah seorang masinis kereta api listrik di Jakarta. Sudah hampir 5 tahun (tidak dihitung masa pelatihan) sejak aku menggeluti pekerjaan ini. Sebuah pekerjaan yang menjanjikan namun juga butuh perjuangan.
Jam kerjaku telah selesai beberapa saat lalu, namun karena aku ikut kereta ini untuk pulang ke rumah, aku dengan sukarela membantu Jimin yang saat ini sedang bertugas di depan sana.
Karena posisiku ada di gerbong paling belakang, dan kereta berjalan menjauhi matahari, aku jadi bisa melihat matahari yang terbenam di luar sana. Sebuah pemandangan yang biasa aku lihat namun sangat indah begitu aku menikmatinya.
Kereta mulai berhenti perlahan di stasiun berikutnya. Aku membuka pintu gerbong untuk melihat keadaan dan saat itulah seorang gadis berambut pendek tersenyum ke arahku sambil bertanya.
"Mas udah punya pacar belum?"
Ya, dialah orangnya. Orang yang membuatku terkaget-kaget di pertemuan pertama dengan pertanyaannya yang sangat tidak masuk akal ditanyakan orang asing.
***
Kamu percaya tentang "takdir pertemuan" antar dua orang? Ketika kita ditakdirkan bertemu seseorang, ntah ada ribuan orang lain pun, kita akan tetap bertemu dengannya, lagi dan lagi entah bagaimana caranya.
"Nih mas diminum."
Sebuah tangah putih bersih menyodorkan sebotol kopi kemasan ke arahku. Gadis itu lagi.
"Loh? Kamu?" Tanyaku kaget.
Ini pertemuan kedua. Awalnya aku pikir ini adalah takdir. Namun akhirnya aku mengetahui, aku memang targetnya sedari awal.
Gadis itu tersenyum. Entah apa yang ada dipikirannya saat melihatku. Aku hanya bisa tersenyum kikuk dan mengambil minumannya.
Jika kalian penasaran apa jawabanku pada pertemuan pertama, aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Gadis itu pun menerima senyumanku sebagai jawabannya. Namun kemudian ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa aku jawab tanpa merasa terganggu.
Bagaimana cara menjadi masinis, jam kerjanya, pendidikan yang harus di lalui, hingga stasiun tempatku akan turun.
Kami turun di stasiun yang sama, namun obrolan kami di hari itu harus terhenti karena aku mampir ke kantor untuk mengambil chargerku yang tertinggal.
Dan kali ini ia menemukanku lagi. Sama seperti pertemuan pertama, ketika aku telah menyelesaikan jam kerjaku dan dalam perjalanan untuk pulang.
Kami berjalan bersama keluar stasiun. Ia masuk ke sebuah angkot, sementara aku mengambil motorku di parkiran, dan begitulah kami berpisah.
***
"Orang bilang ketika mengenal seseorang, orang itu tidak hanya membawa dirinya, namun juga hidupnya. Tapi untuk aku, cukup aku saja yang kamu kenal. Kamu tidak perlu mengenal orang-orang dalam hidupku juga."
Kami menjadi lebih sering bertemu begitu dia menunjukkan tempat kerjanya. Sebuah caffe dekat stasiun tempat kami biasa berpisah.
Dan begitulah bagaimana kami kemudian menjadi dekat dan menjalani hari-hari bersama tanpa garis yang jelas. Seolah tersihir oleh senyum dan tawanya, aku tidak pernah protes tentang hidupnya yang ia simpan rapat-rapat.
Hingga suatu hari sosoknya hilang seperti debu.
"Bapak tau Jisoo kemana?"
Aku bertanya pada pemilik cafe tempatnya bekerja. Sudah satu minggu sejak aku terakhir kali melihatnya. Dia tidak muncul di stasiun seperti biasa dan memberiku sebotol kopi, tidak tiba-tiba menjulurkan kepalanya digerbong depan pintu kereta hanya untuk menyapaku, ia bahkan tidak mengangkat telponku. Khawatir, kesal, dan takut tercampur menjadi satu dalam hatiku.
"Loh kamu pacarnya Jisoo bukan?" Bapak pemilik cafe bertanya balik dan aku hanya bisa mengangguk.
"Dia resign sejak seminggu lalu, katanya sakit." Aku tertegun. Dia tidak pernah mengatakannya padaku.
"Boleh saya minta alamat rumahnya pak?" Dengan bingung aku bertanya.
"Loh kamu pacarnya gak tau rumahnya?" Aku hanya tersenyum malu.
Salahku memang hanya menunggu dirinya terbuka kepadaku. Bukan, bukan salah, tapi aku bodoh. Bodoh mengikuti permainannya..
***
Aku menjalankan motorku perlahan sambil mencari rumah Jisoo dari alamat yang diberikan pemilik cafe.
Aku mengenal lingkungan ini. Lingkungan dekat SMA ku dahulu. Tempatku biasa berlari saat jam pelajaran olahraga, atau saat telat berangkat sekolah.
Aku menemukan rumahnya.
Seorang wanita paruh baya membuka pintu ketika aku menekan bel.
"Permisi bu, ini bener rumah Jisoo?" Tanyaku sopan.
Tidak menjawab, wanita paruh baya itu justru menggenggam tanganku dan mengajakku masuk ke dalam rumah.
Perasaanku mendadak tidak enak namun aku mengikutinya. Matanya menatapku sayu ketika aku akhirnya duduk berhadapan dengannya.
"Maafin Jisoo ya Joon.."
Tangannya mengelus punggung tanganku.
"Maaf kenapa bu? Ini bener rumahnya Jisoo? Jisoo nya ada bu?" Aku memberanikan diri bertanya lagi.
Hanya ingin memastikan meskipun jelas-jelas aku melihat foto wisuda Jisoo dan ibunya di ruang tamu.
"Maafin Jisoo ya... Ibu minta maaf atas namanya."
***
Aku ternyata sudah menjadi incarannya sejak awal. Tidak ada yang namanya takdir diantara hubungan kami. Semua ini hanya rencananya untuk mencapai keinginannya sebelum pergi dari dunia ini.
Manusia egois yang mempermainkan perasaan orang lain hanya untuk membuatnya bahagia.
Jisoo, ia adalah salah satu adik kelasku. Menyukaiku sejak tahun pertama hingga beberapa bulan lalu. Divonis menderita penyakit mematikan yang hanya bisa membuatnya bertahan beberapa bulan saja. Ia sengaja mencariku karena keinginan terbesarnya adalah mengenalku. Ia menjadikan senyumnya dan rasa keingintahuannya sebagai pemikatku.
Namun dengan bodohnya aku masuk ke dalam rencananya. Mau-mau saja memberikan hatiku untuk orang yang tidak perduli apakah aku akan hancur atau tidak nantinya.
Hari itu, aku bahkan tidak bisa membawa motorku sendiri. Aku berjalan menuju makamnya tanpa alas kaki seperti orang gila. Menangis dan berteriak hingga harus ditampar oleh orang lain.
Dan 3 tahun telah berlalu, meski aku terlihat bisa melaluinya dengan baik, setiap kali hal-hal yang berhubungan dengannya terjadi di sekitarku, aku tidak pernah baik-baik saja.
"Joon?" Seseorang menepuk bahuku. Aku melepaskan gelas kopi yang tadinya aku cengkram.
"Kenapa?"
Aku hanya menggeleng. "Gak papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gak Papa *Short Story*
Fanfiction"Kenapa?" Tanyanya setelah menepuk bahuku. "Gak papa."