EPILOG [1]

6.1K 372 66
                                    




Senyumannya mengembang lebar, untuk pertama kalinya ia tersenyum diatas pusaran tanah berbalut bunga ini. Tak tehitung berapa kali ia menyambangi rumah terakhir Mamanya dan berakhir menangis, bagaimana ia tak terus menangis, Mama yang begitu bahagia menantikan kehadiran cucunya, sama sekali tak dapat berjumpa dengan putri Rose. Mama meninggal, begitu mudah ia pergi tanpa merepotkan sama sekali. Namun disisi lain, kesedihan Rose terus memuncak tiap kali menatap putrinya yang begitu dinantikan Mama. Namun, semua sudah takdir bukan? Kepergian Mama tidak lagi menyiksanya, Mama tak akan lagi kesakitan.

Kali ini ia tersenyum lebar, sang putri yang untuk pertama kali ia ajak menyambangi makam Mamanya, ternyata membawa aura positif. Untuk menangis saja Rose tak sanggup, menatap bagaimana putrinya telaten menebar bunga, serta berceloteh pada makam Mamanya, Rose tak sanggup untuk menangis. Hidupnya kini indah, berkat malaikat menawan yang menemaninya.

Merasakan tepukan dipundaknya, Rose menoleh kearah Doni yang duduk disampingnya. Air mata sudah menggenang ran hampir jatuh, namun perlahan mengering, ia kembali ingat jika tak baik menangis dihadapan putrinya. Fokusnya kini terarah pada lelaki kekar yang memiliki rambut kian lebat disekitar rahangnya, bahkan rambut dikepalanya sudah panjang menyentuh pundak, namun diikatnya rapi seperti ekor kuda. Lima tahun berselang, namun baru tiga setahun belakangan Doni mulai berubah. Lelaki itu tak lagi kemayu dihadapan Rose, tak lagi menggunakan bahasa alien yang dulu kerap membuatnya frustasi, semua karena Mikhayla.

"Mommy! Ala dapat tapung!"

Khayla yang baru beberapa menit berlalu dan menuju semak, kini mendekat dengan seekor hewan ditangannya. Rose mengernyit, sejak kapan capung memiliki antena dikepalanya?

"Kya! Ala! Itu kecoa bukan capung! Buang sayang, buang, buang! Kya!!" Doni lari terbirit-birit saat Khayla malah mendekat dan menyodorkan kecoa ditangannya.

Entah menurun dari siapa, sepertinya Rose tidak seusil itu saat masih kacil.

Mikhayla sangat-sangat usil, dia sangat aktif dan mandiri, bahkan gadis kecil yang akan menginjak fase akhir dari balita itu sangat cerewet. Karena itulah Doni menyerah dan memilih lurus saat bersama Rose dan Ayla.

"Kapok eike beb, kapok! Ala nanyain terus arti-arti bahasa uke yang eike pakai, setres eike, stres!" Begitu terang Doni saat Ayla terus menanyakan arti ini dan itu. Siapa pula yang meminta Doni menggunakan bahasa aneh itu? Rose bahkan lelah melarang, namun lelaki itu terus saja mengulangi.

"Beb!" Doni mendekat, membuat Rose reflek berdiri, lelaki besar itu bersembunyi dibalik punggung Rose. Sepertinya tidak cocok dikatakan bersembunyi, karena nyatanya badan besar itu sama sekali tak tertutupi oleh badan ramping Rose.

"Ala," lirih Rose pada sang putri.

Gadis berparas ayu itu mencebik, melempar kecoa ditangannya dan merengut. Kembali Rose tersenyum, merendahkan badannya untuk mengenggam kedua tangan sang putri. Dikeluarkannya tisu basah dari dalam tasnya, dan dengan telaten diusapnya jemari sang putri.

"Kalau Ala nakal, om Doni tak mau main dengan Ala lagi loh,"

Lagi-lagi Rose tersenyum, sang putri mencebik, matanya berkaca seraya menatap Doni. Sepertinya bendungan dimatanya akan segera pecah, namun entah mengapa itu terlihat menggemaskan dimata Rose.

"Haha, tidak sayang, om Doni tak akan pergi okay?" Bujuk Doni.

Dipeluk erat sang putri, Rose merasa bahagia dapat kembali bersama sang putri, setelah dua tahun sejak kelahiran Ala, mereka harus berpisah.

Rose mendapat perawatan, untuk trauma mental yang sempat dialaminya. Frustasi semenjak melahirkan, serta rasa tak rela ketika satu-satunya manusia tersisa yang ia sayangi harus pergi. Dua tahun terasa berat, saat putrinya baru berusia 4 bulan, mereka harus dipaksa berpisah. Semua akibat Rose yang pernah mencoba hendak membunuh Ala. Itu gila, memang! Namun Rose sama sekali tak sadar kala itu, seakan ia diselimuti bayangan gelap yang mengambil seluruh akal sehatnya.

𝔸𝔽𝔽𝔸𝕀ℝ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang