39. Assalamualaikum Senja

6.1K 1.1K 65
                                    

“Cerita ini fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”
© Story of “Surga di Balik Jeruji” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.
.
.

“Assalamualaikum Senja.
Terimakasih memberiku kesempatan untuk memanggil namamu untuk terakhir kali”

***

“Saya lebih nyaman di sini,” jawab Daffa. Mengulang perkataan yang sama saat Halim dan Dokter Heri mendesaknya untuk pergi ke rumah sakit. “Demi Allah. Di sini! Saya malah bisa leluasa beristirahat.”

“Menurut Dokter gimana?” Halim beralih bertanya pada Heri.

“Ya terserah Daffa saja. Orangnya tidak bisa dipaksa. Kita pantau kondisinya. Istirahat di dalam ruang klinik daripada sel penjara. Kalau tidak memburuk, tidak perlu dirujuk ke rumah sakit,” sahut Heri membenarkan tali infuse Daffa sejenak. Membuka roller clap. Kemudian berjalan kembali ke meja kerja di ujung ruang klinik. “Tapi saya tetap melaporkan kondisi kamu sama Dokter Yulianto. Biar dia yang memutuskan.”

Klinik Lapas Arisuma memiliki ruang yang cukup luas. Bertembok putih bersih dengan lima tempat tidur berjejer dan beralaskan kain putih. Sedang tirai-tirai yang membatasi, sebagai sekat antar tempat tidur memiliki warna yang senada. Sehingga ketika sinar matahari masuk dari jendela terbuka membuat ruang klinik tersebut menyilaukan mata.

“Jangan melihat gue seperti itu,” tegur Daffa risih kepada Halim. Sipir itu berdiri di samping tempat tidur, terus mengerutkan kening. “Gue belum mati. Belum waktunya!”

“Serius sedikit Daffa, jangan becanda,” sahut Halim kesal. Berkacak pinggang. “Lebih baik lo ke rumah sakit sekarang. Dua kali lo mimisan hebat seperti ini. Bagaimana kalo kondisi kesehatan lo semakin parah! Lo perlu—”

“Sama sekali nggak perlu!” tolak Daffa. Memotong perkataan Halim. “Gue lebih tau tentang kondisi gue. Ini tubuh gue dan gue bisa merasakannya. Gue masih bisa menahannya.”

Halim berdecak kesal. Namun Daffa tidak peduli dan mengalihkan kedua mata menatap langit-langit klinik yang mencerminkan bayangan pohon yang berada di luar. Membuat klinik terasa nyaman dan sejuk.

“Daffa…” panggil Halim tidak menyerah.

“Kalo gue merasa nggak sanggup menahannya lagi, gue pasti bilang sama lo. Bilang sama Dokter Heri. Tapi sekarang gue merasa sakit ini bukan apa-apa. Gue cuma butuh istirahat, itu saja.”

“Jangan-jangan elo coba untuk menghindari pengobatan, ya kan?” Halim menaruh curiga. Dia melipat kedua lengan di depan dada.

“Bukan! Lo masih nggak percaya sama gue?”

Surga di Balik Jeruji | LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang