***(Tiga tahun kemudian)
"Assalamualaikum," suara salam menyapa penghuni rumah untuk memberitahu bahwa ada tamu yang datang.
"Waallaikumsalam," jawab santun dari dalam rumah. Sedetik kemudian terdengar derit pintu terbuka dan membuat si tamu menganga tak percaya. Bidadarikah? Batin Dito masih memandang wajah ayu di hadapannya.
Gadis itu menunduk tak suka ditatap sedemikian rupa. "Cari siapa, Mas?" suara merdu penyejuk kalbu masuk ke pendengaran Dito membuat mulut laki-laki itu kian menganga.
"Ehm." deheman Dito mengusir debaran dan keterkejutannya.
"Kamu, siapa? Kenapa di rumah ibu saya?" Gadis itu mendongak karena ternyata tamunya anak pemilik rumah.
"Saya ...," jawab si gadis terjeda.
"Sopo(siapa), Is?" suara serupa teriakan dari arah dapur membuat kedua orang itu mengalihkan pandangan ke arah sumber suara.
"Bu! Ibu di mana?" teriak Dito dan ngeloyor masuk ke dalam rumah meninggalkan si pembuka pintu begitu saja.
"Di dapur," jawab Ibunda Dito masih setengah berteriak. Dito menuju ke dapur di ekori gadis yang membukakan pintu tadi.
Rumah itu sangat besar, berbentuk joglo khas rumah Jawa tengah. Ruang tamunya berupa satu rumah berbentuk pendopo, berukuran delapan kali delapan meter, sudah bisa dibayangkan betapa luas ruangan yang hanya di peruntukkan untuk ruang tamu. Sedangkan di bagian belakang yang juga menempel dengan pendopo ruang tamu, rumah yang sudah di desain sangat modern yang di fungsikan untuk kamar tidur, dapur, ruang keluarga dan kamar mandi untuk penghuni rumah.
"Hai, Sayang. Wes tekan? (sudah sampai?) Ayo makan bareng!" ajak Ibu Hanna, Ibunda Dito melihat anak semata wayang mendekatinya dan mengangsurkan salim.
"Sini, Is," suruh Hanna tak lupa menyuruh si gadis pembuka pintu untuk ikut mendekat.
"Dia siapa?" tanya Dito selanjutnya sambil memundurkan kursi, tak sabar ingin segera menyantap hidangan.
"Kenalkan! Dia Ismara pamungkasih dan Isma ini Radito, anak Ibu." Hanna memperkenalkan mereka berdua. Dito menjulurkan tangan namun hanya tangkupan tangan di dada yang di dapatnya. 'It's okey' batin Dito mengulur tangan kembali dan mengendikan bahu.
"Ayo, makan dulu, nanti baru Ibu jelaskan maksud Ibu menyuruhmu pulang."
Suasana makan malam mereka bertiga hening hanya sesekali terdengar dentingan sendok beradu dengan piring.
Sudah sejak lama, Hanna ningsih, Ibunda Dito tinggal sendiri semenjak di tinggal almarhum Ayah Dito menghadap Sang Khalik. Hanna adalah pensiunan Guru SD sedangkan almarhum Ahmad Supriyadi, Ayah Dito adalah pensiunan Guru SMP yang mengajar mata pelajaran Agama Islam di sebuah kelurahan di Salatiga, Jawatengah.
Dito terlahir sebagai anak tunggal. Karena itu sifatnya terbilang manja namun dia juga punya sifat ingin mandiri, buktinya sekarang dia sudah mampu punya rumah dan kendaraan sendiri.
Walaupun di besarkan dalam keluarga taat dan ketat soal urusan agama nyatanya sifat Dito bisa dibilang sangat liar, penyebabnya pergaulan bebas yang didapatkan waktu mengenyam dunia pendidikan. Orang tuanya tak pernah tahu kelakuan liar anaknya karena saat di rumah kelakuan Dito akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi penurut dan taat sembahyang.
"Ibu tinggal ke ruang tamu sama Dito, kamu bereskan piringnya ya, Is!" Dito mengerutkan kening. Ibunya dengan santai menyuruh Isma merapikan meja makan sedangkan Isma hanya mengangguk dan mengiyakan. 'Hubungan mereka akrab banget, kaya Ibu sama Anaknya saja,' batin Dito.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app)
RomanceNamaku Radito purnama. Aku bukan pengusaha apalagi casanova. Aku seorang Arsitek yang sudah hidup berkecukupan. Usiaku 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga namun aku masih bahagia sendiri. Cita-citaku bukan menjadi Arsitek, tapi karena...