10: Jangan-jangan kalian friends with benefits, ya?

803 112 22
                                    

Sejak kecil, Vio tidak menyukai perubahan-perubahan yang terjadi di luar rencana. Perlu waktu berbulan-bulan baginya untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal baru. Perceraian orang tuanya, kehidupan di sekolah berasrama, rutinitas kerja. Vio mungkin memang tidak menunjukkannya, tetapi perubahan sekecil apa pun bisa membuatnya tertekan. Tidak mengherankan jika Vio selalu berusaha mempertahankan rutinitasnya, sampai kemudian dia bertemu Yudhis dan Pandu.

Ternyata selalu ada yang pertama dan selalu ada pengecualian. Yudhis dan Pandu adalah pengecualian pertama bagi Vio. Mereka muncul begitu tiba-tiba, tanpa permisi, dan berbaur begitu saja menjadi bagian dari kesehariannya. Berangkat bersama setiap pagi, bertukar pesan di sela-sela jam kerja, makan siang bersama di akhir pekan. Semua berjalan begitu alami, sampai-sampai Vio merasa memang begitulah rutinitasnya sejak lama.

Saat Pandu mengajaknya menonton konser Ale, tidak terlintas sedikit pun di pikiran Vio bahwa hal itu adalah sebuah agenda yang spesial. Bukankah mereka telah sering menghabiskan waktu bersama? Tidak ada yang aneh jika mereka menonton konser sepulang kerja, kan?

Gadis itu menikmati setiap menit yang dia habiskan bersama Pandu. Tidak ada hal yang khusus. Semua berjalan wajar sampai Pandu menggenggam tangannya. Dua kali. Dan sepanjang tangan mereka bersentuhan, jantung Vio berdegup lebih cepat, menggedor-gedor rongga dadanya dengan begitu keras.

Perlu upaya keras bagi Vio untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Kehadiran Ale lumayan membantu, perhatian Vio sedikit teralihkan. Dia dapat berpura-pura bahwa rasa gugup itu disebabkan pertemuannya dengan Ale. Vio juga bersyukur sepanjang perjalanan pulang Pandu tidak banyak bicara, apalagi Vio sendiri tertidur selama hampir separuh perjalanan. Vio yakin dia hanya sekadar terbawa euforia. Vio percaya perasaannya akan kembali normal besok pagi.

Ternyata dia salah.

Begitu membuka mata, bayangan pertama yang melintas di kepalanya adalah senyum Pandu saat mengantarkannya ke depan pintu apartemen semalam. Lalu, otaknya mulai memutar adegan demi adegan yang dia lewati pada malam sebelumnya, dengan menambahkan sedikit bumbu yang membuatnya semakin gelisah.

Di depan cermin, Vio memandangi pantulan dirinya. Kedua pipinya yang merona tampak jelas terlihat. Padahal, dia hanya teringat sekilas tentang kejadian semalam.

"Jangan berpikir macam-macam, Violet. Nggak ada yang spesial dalam hubungan kalian. Kalian hanya kebetulan bertemu dan kebetulan memiliki selera yang sama. Nggak lebih dari itu," gumam Vio berbicara sendiri.

Setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Pagi itu, Vio memutuskan untuk tidak terlalu terikat dengan rutinitas yang melibatkan Pandu. Dia harus membiasakan diri jika suatu saat Pandu meninggalkannya, seperti semua orang yang pernah singgah di hidupnya.

Vio bersyukur dia bangun lebih awal. Dengan begitu, dia bisa punya alasan untuk berangkat sendiri ke kantor dengan naik kereta. Lima belas menit kemudian, dia telah sampai di stasiun dan mengirimkan pesan ke Pandu bahwa pagi itu dia tidak bisa berangkat bersama Pandu.

* * *

Saat memasuki gerbong khusus wanita yang telah padat terisi, Vio merasa sedikit kagok. Beberapa minggu terakhir, dia cukup duduk manis di sisi Pandu, lalu menunggu pria itu menurunkannya di depan kantor. Tidak perlu berdesak-desakan dan berebutan oksigen dengan puluhan orang.

Meski sesekali naik kereta saat pulang kantor, suasananya sungguh berbeda. Apabila Pandu tidak bisa menjemputnya, Vio biasanya akan menunggu sampai jam sibuk selesai. Gerbong kereta sudah cukup lega, bahkan kadang-kadang Vio juga bisa mendapatkan duduk. Berbeda dengan kondisi pagi ini yang telah penuh sesak oleh rombongan wanita karir yang hendak berangkat ke kantor masing-masing.

Vio sedikit terperanjat ketika bahunya ditepuk dari belakang. Dia menoleh untuk melihat siapa yang mengisenginya. Ternyata sesuai dugaan, Tasya tengah tersenyum lebar kepadanya. Vio kemudian sedikit menggeser tangan kanannya agar Tasya dapat ikut berpegangan ke tiang kereta.

Let Me Love You, Violet. (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang