Duduk di atas kursi yang sama dengan posisi saling berhadap-hadapan, Torra lebih dulu memulai percakapan untuk mencegah hal buruk terjadi pada pernikahannya, "Tolong jangan asal berpikir, Sayang. Mas dalam keadaan mabuk waktu tidur sama Laura pas--"
"--DIAM! Jangan sebut namanya di depanku! Intinya kita udah nggak cocok dan Ibu maunya kita bercerai!" Torra masih ingin memperbaiki kesalahannya, namun Inna menyela ucapannya dengan berteriak keras, sebelum menyampaikan permintaan ibunya.
Tak urung Torra masih saja berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, "Bukan Ibu yang ngejalanin rumah tangga ini, Sayang. Kita yang bakalan melaluinya dan--"
"--Apa bedanya sama Mamamu, Mas? Anakku bahkan harus mati! Kamu masih mau menyangkal sama omongan Kak Aldi tempo hari? Aku jatuh dari tengah tangga karena menginjak minyak goreng, Mas Torra Mahardika yang terhormat! Bagaimana bisa do tengah tangga ada minyak goreng, heh? Bagaimana bisa?!" Tetapi Inna masih setia menyela kata-kata Torra, bahkan ia juga melempari suaminya itu dengan sebuah asbak kaca.
PRANK...
Sempat merunduk agar tidak terkena lemparan, lalu asbak menjadi terbelah di lantai, Torra ternyata belum berhenti memohon meski harus dengan menyapukan telapak tangannya di dada, "Sayang, aku minta--"
"--Keluar kamu sekarang, Mas! KELUAR!" Berang dan sungguh tak tahu harus bagaimana dengan sikap yang begitu memalukan untuk ditunjukkan, Inna memilih untuk mengusir Torra dari rumah orang tuanya.
Baginya sudah cukup berbicara dengan Torra yang seolah tak punya rasa bersalah atas kepergian putri mereka, namun tidak untuk pria tiga puluh dua tahun itu. Ia masih saja mengajak istrinya untuk berdamai, "Kita belum selesai bicara, Sayang."
"Nggak ada yang harus kita bicarakan lagi, Mas!" Dan sungguh, saat itu batas kesabaran Inna seperti sudah sampai di ujungnya. Ia berdiri dengan begitu kasar hingga kursi kayu itu nyaris ikut terjatuh juga di lantai, berkata sebelum membalikkan tubuhnya kembali ke kamar, namun telapak tangan Torra berhasil mencengkram lengannya.
Torra mengingatkan janji yang sempat Inna katakan untuk tetap bertahan tanpa menyerah sebagai sebuah umpan, "Ada, In. Masih banyak yang harus kita bicarakan, terutama tentang janji kamu yang nggak mau bercerai dariku waktu di Rumah Sakit kemarin. Kamu nggak lupa kan sama janjimu, Sayang?"
"Aku akan melangarnya, Mas! Terserah kamu mau bilang aku menjilat ludahku sendiri atau apa, yang jelas kita harus bercerai!" Tapi dengan santainya Inna mengabaikan janjinya sendiri. Bukan tanpa sebab ia melakukan hal tersebut, karena memang jiwanya terasa semakin sakit dan juga lumpuh tak berdaya, terlebih setelah kepergian ayahnya.
Merasa jengah dan ikut tersulut, tak sampai sepuluh detik kemudian bukan hanya mencengkeram lengan saja yang telapak tangan Torra lakukan, melainkan rahang halus Inna pun menjadi sasaran kegilaannya.
Bola mata Torra membesar dengan semburat merah di sana, dan sungguh Inna tak ubahnya seperti pesakitan lagi, mana kala sejumlah ancaman masuk ke dalam indra pendengarannya, "Harus katamu? Supaya apa, hang?! Supaya kamu bisa sama-sama dengan dokter sialan itu?! Supaya kalian berdua bisa menikah karena memang sejak dulu sudah sama-sama saling mencintai?! Jawab aku, Inna Bastari! Itukah yang kamu inginkan dariku? Kamu lupa siapa dia saat ini di tempatku? Jika iya begitu, maka bukan hanya kita berdua saja yang akan berperang, Sayang! Aku pun nggak akan membiarkannya lolos dari Tanah Timor dengan keadaan hidup!"
Ancaman yang ternyata sukses mengubah Torra seperti seekor monster merah menyala, tak urung membuat Inna harus terbata di tengah cengkeraman tangan pada rahangnya, "Jang..an mac..am-ma..cam kamu, Mas! Aku nggak ak--"
"--Aku nggak peduli, Sayang! Aku nggak takut masuk kehilangan semuanya dan masuk penjara, asalkan laki-laki biadab itu mati di tanganku! Kita lihat sekarang jug--"
"--JANGAN! Jangan, Mas Torra! Jangannn...!" Perdebatan yang pernah terjadi kini terulang sekali lagi dalam hidup Inna, melepaskan setiap bulir air mata dan juga isaknya. Ia memeluk tubuh Torra kuat-kuat, atas ancaman yang terlontar. Bukan karena harus kembali takut ataupun ketidakberdayaan yang sama, melainkan pada masa depan panjang seorang dokter kontrak seperti Aldi Wiryawan adalah kegusaran dalam isi kepala cantiknya kini.
Sepanjang nyaris satu tahun hidup bersama, Inna sangat megenal bagaimana kiprah Torra di tanah kelahirannya, terlebih dengan watak kasar dan mudah tersulut dan juga dibodohi oleh lembaran rupiah.
Beberapa kali Inna mendapati Torra terdengar merencanakan lobi-lobi kotor untuk sekedar memenangkan tender-tender proyek dan juga pengadaan, maka untuk kali ini ia mungkin harus mengalah, serta menggunakan cara halus lainnya, "Lepas, In! Dia pasti masih ada di luar sama Ibumu yang berencana akan menjadikan dia menantu terbarunya ya kan?! LEPASIN AKU...!"
BRAK BRAK BRAK
Belum lagi untuk sang ibu yang sudah tak punya pengangan apapun setelah kematian ayahnya sebagai tulang punggung di keluarganya, maka memang bukan dengan jalan kekerasan pilihannya, "Inna, buka pintunyaaa...! Kamu diapain sama dia di dalam?! Ini Ibu, Nduk!"
"Lihat! Inikah yang kamu mau, In? Apa kamu pikir aku juga suka dengan keadaan kita yang hancur berantakan kayak begini? Aku dalam keadaan mabuk. Kamu harus percaya sama omonganku, karena selama ini dia masih terus mengejarku walaupun kita sudah menikah. Aku beneran teler, bahkan yang ku ingat waktu itu adalah aku tidur sama kamu, Sayang. Muka kamu yang jelas-jelas kulihat bukan dia. Bisa aja dia naruh obat perangsang di dalamnya kan, Sayang? Tolong maafin aku, In. Aku janji nggak akan ngulangin hal yang sama lagi, please..." Lebih-lebih ketika air mata juga hadir di tengah pandangan mata Torra yang mengambil kembali wajahnya untuk saling bersitatap, Inna harus mengakui dirinya begitu bodoh untuk ikut melakukan sebuah kesamaan, menangis dan menunjukkan kepedihannya.
Satu pelukan Torra, membungkus tubuhnya yang bergetar saat itu, dan gambaran kepedihan seolah semakin terbuka lebar, tatkala bibirnya kini terbungkam habis. Sarat kerinduan memang jelas ditunjukkan Torra untuk Inna di sana, tetapi entah sampai kapan bahagia itu dapat kembali diraih.
BRAK BRAK BRAK
"Inna, buka pintunya! Kamu nggak kenapa-napa kan, Nduk?!"
BRAK BRAK BRAK
"In, lo nggak kenapa-napa kan di dalam? Bukain pintunya dulu, In! Atau gue dobrak aja nih!" Terlebih ketika suara Indri dan Aldi terdengar mendominasi di tengah bunyi kecapan mulut Torra di bibir Inna.
Tautan paksa Torra pun terlepas setelah Inna berhasil mendorongnya, namun tidak dengan cengkeraman tangannya yang masih kuat dilakukannya. Sejuta harapan besar melayang bersama dua baris rayuan gombalnya, "Maafkan aku, Sayang. Aku cinta banget sama kamu..."
PLAK
"Jangan bicara cinta omong kosong itu lagi di depanku, Mas! Aku nggak akan pernah mau percaya walaupun kali ini kamu berhasil mengancamku!" Tapi tidak berhasil saat Inna dengan cepat melayangkan satu tamparan kerasnya di pipi Torra.
"In--"
"--Kita lihat aja nanti, Mas. Seberapa kuatnya kamu menghadapi aku! LEPAS!" Torra jelas terluka untuk ungkapan yang menurutnya benar-benar tulus terlahir dari dalam hatinya, tetapi sungguh Inna merasa lebih dari itu.
Inna Bastari merasa seperti orang tolol yang baru saja menghabiskan berpotong-potong buah Simalakama, dan tercekat sembari menunggu malaikat kematian datang menjemputnya. Sampai kapankah semua akan berakhir? Jangan bertanya padaku.
****
BERSAMBUNG. TEMAN-TEMAN, JANGAN LUPA FOLLOW AKUN TEMENKU YA? NAMANYA @MemeyMecxa2MAKASIHHHHH....
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...