Chapter 5 : Broken part I

1.2K 127 3
                                    

Chapter 5 : Broken Part I

“Mary,” suara lembut Ivory membuatnya tersadar dari lamunan panjangnya mengenai sikap aneh Scott dan keadaan ibunya di rumah sekarang, “bel sudah berbunyi sejak tadi, ayo!” panggil gadis dengan rambut hitam itu.

Mary hanya mengangguk pelan, merapihkan barang-barangnya dan beranjak dari tempat duduknya kemudian mengikuti Ivory dari belakang. Jam makan siang sudah tiba, pelajar berhamburan ke kantin sekolah. Namun Mary dan Ivory tidak begitu. Mereka memilih untuk duduk di taman sekolah. Keduanya sering membawa bekal karena dengan begitu, mereka bisa menikmati makan siang di tempat yang sepi dan tidak berisik.

Salah satu alasannya juga adalh karena kantin bukanlah tempat yang bersahabat untuknya. Tempat itu berisi meja-meja untuk setiap grup yang ada. Meja popular selalu jadi incaran, namun yang duduk di sana hanya seputar gadis kaya cantik semacam Rosaline atau Scott. Ada lagi meja para cheerleader, seniman dan lain-lain. Semuanya punya tempat masing-masing, dia sendiri tidak akan pernah mendapat satu. Ivory sebenarnya selalu punya tempat di sana, dia selalu bisa diterima di meja para seniman. Mengingat gadis itu punya bakat seni yang hebat. Tapi sesekali gadis itu memilih untuk menemaninya—seperti kali ini.

“Mary, kau tidak bawa bekal?” Ivory sudah membuka kotak makan siangnya, selalu penuh cinta di dalamnya meningat ibunya dengan senang hati membuatkan satu untuknya. Mary pernah bertemu dengan Susan Adams –ibu Ivory, beliau wanita cantik yang penuh kasih sayang, membuat Mary kadang bertanya kenapa ibunya tidak bisa bersikap seperti nyonya Adams.

“Uhm, tidak. Aku tak sempat membuatnya,” ucap Mary. Di tangannya sudah ada air mineral yang akan menjadi satu-satunya makan siangnya. Tapi entah, dia sendiri tidak tahu apakah air mineral bisa disebut sebagai makan siang. Mary tak punya cukup uang untuk sehari-harinya. Ibunya hanya memberinya sedikit dan sering complain soal biaya sekolahnya yang mahal.

Mary terdiam, gadis itu lalu mengambil satu dari dua potong sandwichnya pada Mary tanpa ragu. “Ini, dan jangan menolak, biarkan aku merasa jadi teman yang baik karena aku tahu tak bisa berbuat apa-apa soal itu,” lirikannya mengindikasikan soal bekas luka di sudut bibir Mary. Ivory tahu betul siapa pelakunya, namun mereka sudah membahas soal itu berkali-kali hingga Ivory menyerah untuk memintanya mencari bantuan.

Dengan ragu, Mary menerima potongan sandwichnya, berucap terima kasih dengan pelan. Untuk beberapa saat, suasana menjadi hening. Mereka makan dalam diam, terfokus pada pikiran masing-masing.

“Lalu…” Ivory memulai, kesunyian mulai mengusiknya, “ada apa dengan Scott tadi pagi?”

“Uh… aku juga tidak mengerti,” ujarnya, tangannya memainkan ujung kaos bututnya, “dia bertanya soal lukaku lalu saat aku akan pergi, dia menahanku dan terlihat marah.”

Ivory mengangguk, pandangannya dialihkan ke depan—tampak berpikir, “kau… tidak melakukan apapun kan?” tanyanya lagi sembari menolehkan kepalanya ke arah Mary.

Gadis itu menggeleng. Pembicaraan tentang Scott setelah itu digantungkan, mereka kembali menghabiskan sisa waktu dengan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

.

.

[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang