eoy - limabelas

151 20 3
                                    

Sesampainya di rumah Bang Tata, aku langsung duduk di sofa yang ada di ruang tamu sedangkan Bang Tata naik ke lantai atas untuk manggil Bian.

Ini bukan kali pertama aku main ke rumah Bang Tata, tapi ini kali pertamaku pergi ke sini untuk menemui Bian.

"Bian kayaknya belom balik, deh. Di kamarnya gak ada," ucap Bang Tata sambil menuruni anak tangga.

Aku mengerutkan dahi saat mendengar ucapan Bang Tata. "Masa, sih? Tadi pas Bian nganterin aku pulang dia bilang mau langsung pulang kok, Bang."

"Mampir dulu kali tuh anak. Coba telepon?"

Aku menggeleng. "Biarin aja, Bang. Aku nunggu dulu, kalau nanti dia masih gak pulang juga baru aku telepon."

"Aku tinggal sendiri gak apa-apa? Aku mau ke rumah pacarku sekarang." Bang Tata tersenyum malu-malu setelahnya.

"Gak apa-apa Bang, tapi Abang percaya ninggalin rumah ini pas ada aku?"

"Ya ampun, kaya apaan aja. Abang pergi dulu ya," pamit Bang Tata sambil mengusap puncak kepalaku.

Aku mengangguk dan mengulurkan tanganku untuk mencium punggung tangan kanannya.

Aku memperhatikan punggung Bang Tata yang berjalan menjauh sampai sosoknya sudah tak terlihat karena terhalang pintu ruang tamu. Aku menghempaskan punggungku ke sandaran sofa dan mengecek jam yang berada di ponselku.

Pukul lima sore, sejak setengah jam lalu saat aku tiba di rumah seharusnya Bian pun sudah berada di rumah sekarang.

"Mampir ke mana tuh anak?" tanyaku pada diri sendiri.

Selama beberapa menit akhirnya aku berniat untuk menelepon Bian. Panggilan pertama tak ada jawaban, sampai aku menelepon sampai ketiga kalinya panggilan dariku sama sekali tak mendapat jawaban dari ujung sana.

Membuang napas kasar sambil melempar ponsel milikku ke samping, biasanya Bian gak pernah cuekin panggilan dari aku kaya gini.

-

Sudah dua jam aku menunggu Bian, namun laki-laki berbibir tebal itu sama sekali belum menampakkan batang hidungnya. Membuatku kesal setengah mati.

Mau gak mau, aku akhirnya menyerah dan memilih untuk pulang ke rumah. Masa bodo dengan Bian.

Saat aku akan menutup pintu gerbang dari luar, suara mesin motor terdengar dan aku langsung menoleh ke arah motor tersebut.

Mataku membulat saat Bian datang dengan wajah murung. Bibir laki-laki itu tak menunjukkan senyum yang biasanya ia perlihatkan. Aku seperti melihat Bian beberapa bulan lalu, saat ia baru masuk sekolah di sekolahku.

"Dari mana sih, lo?" tanyaku saat Bian sudah berada tepat di hadapanku.

"Ngapain lo di sini?" Bian malah balik bertanya.

Aku menghentakkan kaki kananku, sedikit gemas dengan pertanyaan bodohnya.

"Gue nungguin lo, udah dua jam!" balasku ngotot, sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahku ke mukanya.

"Tapi sama Bang Tata kan nungguinnya?" ucapnya cuek sambil berdiri dari motornya dan berjalan ke arah pagar.

Aku berjalan di belakangnya, masih belum puas untuk marah-marah sama Bian.

Aku menjitak bagian kepala belakangnya. "Kenapa sih lo? Ngeselin banget!"

"Lo gak pulang?"

"Lo ngusir gue??"

Bian langsung mengangguk dan kembali berjalan ke arah motornya. Aku memperhatikan Bian yang tengah memasukkan motornya ke dalam rumah tanpa mempedulikanku yang masih berdiri di tempat.

"Pulang sana." Setelah itu Bian kembali menutup pagarnya dan meninggalkanku sendirian yang kini tengah shock dengan sikapnya.

"Ngeselin banget sih lo!" teriakku sambil mengguncang-guncang pagar besi rumah Bian.

"Bian gue pulang ya??"

"Bi gue pulang nih, lo gak mau nahan gue?"

"Bi sumpah, gue udah mundur selangkah nih. Gak mau nganterin gue pulang??"

"Bian, main yuukkk!"

Aku masih belum puas untuk berteriak memanggil Bian sampai akhirnya sosok yang sedari tadi aku tunggu, keluar lagi untuk menghampiriku lagi.

Aku gak bisa menyembunyikan raut bahagiaku, saat mendengar suara buka kunci yang dibuka dengan kasar.

Bian berjalan hingga ia tepat berada di depanku, dengan raut wajah yang sama seperti tadi.

Tangan kanannya terulur, membuatku memejamkan mata untuk menikmati elusan yang biasa ia lakukan padaku.

"Awh! Kok malah disentil sih??" protesku sambil mengelus kening yang tadi disentil Bian.

"Dasar caper."

Aku memajukan bibir bawahku saat ia mengatakan itu dengan wajah yang super ngeselin.

Tanpa diduga, Bian malah tersenyum dan mencubit bibir bawahku membuatku menepisnya tanpa tenaga.

"Jangan gemesin bisa gak sih?" tanya Bian, sambil memposisikan mata kami agar sejajar.

Sudah aku bilang kan? Kalau Bian itu gak bisa lama-lama mendiamkanku. Aku langsung menubrukkan tubuhku ke arahnya dan memeluknya erat-erat

"Kenapa tiba-tiba meluk?" tanyanya, dengan tangan yang kini membalas pelukanku.

Aku mendongak, menempelkan daguku di dada bidangnya. "Enggak suka?"

Bian menunduk hingga sepasang mata kami kembali bertemu. "Suka ... suka ..." ia mengangguk sambil tersenyum lebar dan mengeratkan pelukannya.

"Kalo pacaran sama gue juga suka?" Untuk pertanyaan ini, aku gak berani untuk melihat ke arahnya. Bisa-bisa Bian melihat wajahku yang memerah karena menahan malu.

"Apa?"

Aku mendengkus lalu melepaskan pelukan kami. "Enggak, gak ada apa-apa."

"Gak usah kode-kode, nanti kalo gue gak peka lo sendiri yang marah-marah."

Aku tetap diam tak bergeming. Selama beberapa menit kedepan kami saling diam, namun mata kami masih saling mengunci satu sama lain.

"Ki?"

Aku hanya menaikkan sebelah alisku tanpa mengatakan apapun.

"Lo mau kan jadi pacar gue?" ucapnya dengan nada suara selembut mungkin.

"Ngomong dong," sambung Bian dengan wajahnya yang kini memelas. Kemana wajah jutek saat ia baru datang tadi?

Aku tak bisa menahan senyum, lalu kembali memeluknya lagi.

"Tanpa gue jawab, lo udah ngerti kan maksud gue?"

Aku merasakan Bian menempelkan dagunya di atas kepalaku dan menganggukan kepalanya dengan cepat lalu membalas pelukanku lebih erat. "Gue sayang lo, Yuki."

Aku tersenyum senang mendengarnya, sambil memejamkan mata dan menikmati pelukannya aku pun menjawab, "Gue juga, Bi."

-

T A M A T

Eyes On You | Ryujin x Hyunjin ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang