Akhirnya, aku pulang ke Indonesia.
Belum sampai, sih Sahabat. Namun, hari ini kami akan pulang menaiki Emirates ke Jakarta, transit di Dubai. Kami semua menaiki kelas bisnis. Kecuali Boon, dia dibelikan tiket kelas ekonomi oleh Raven.
Dan aku.
Aku dan Raven duduk di kelas pertama. Berdua saja. Di sebuah ruang bersekat lebar yang bisa diubah menjadi tempat tidur untuk berdua. Jauh dari jendela, tapi tak apa-apa—karena ada satu layar untuk menampilkan apa yang terjadi di luar jendela. Berada pada baris paling depan pesawat, sekatnya membuatku berada di ruang spa yang modern dan menenangkan. Semua lapisan kulit yang kusentuh terasa lembut dan kenyal. Mungkin aku tak akan tidur karena ingin menikmatinya.
Ketika duduk, seorang pramugari langsung mengantarkan sekeranjang besi berisi camilan semacam kacang-kacangan, kue kering, permen mint, dan minuman segar. Pilihan minuman seperti air putih dan sampanye dari mawar pun ditawarkan. Lalu, pramugari membuka sebuah kotak kayu warna cokelat gelap yang dipelitur mengilap, menampilkan beberapa kurma besar yang tampak mewah.
"Monika, what are you doing?" tanya Raven sambil menyikutku, ketika kurebut kotak itu dari tangan si pramugari dan kumasukkan ke dalam tasku.
"Oh, kirain boleh diambil semua."
"Enggak, lah. Elo cuma ambil satu atau dua aja."
Pramugari yang melongo karena aku tiba-tiba mengambil seluruh kotak hanya terkekeh. "That's alright!" sapanya sangat ramah. "You can take it all. We have plenty in our storage."
"No no no, sorry." Kukembalikan lagi kotaknya, tetapi kuambil semua kurmanya dan kuletakkan ke atas piring kecil di depanku. "This is."
Setelahnya, handuk hangat yang wangi sekali dibagikan. Aku menciuminya dalam-dalam karena aku suka aromanya. Ketika aku membuka ritsleting tasku, Raven menyikut lagi, "Monika, itu juga dikembalikan."
"Kamu pikir aku mau ngambil handuknya, hah?" sergahku tak percaya. Aku melongo sambil berkacak pinggang.
Sebenarnya aku memang mau memasukkan handuknya ke dalam tas. Pasti ibuku juga melakukan hal yang sama di belakang sana. Namun aku terlanjur malu, jadi aku merogoh tas dan mengeluarkan benda apa pun itu yang kuambil.
"Aku mau ngambil ini tahu!" kataku, mengacungkan ...
... sehelai G-string merah.
G-string yang kubeli bersama Yuni sembunyi-sembunyi ketika kami melipir ke salah satu pusat perbelanjaan Istanbul, tepat saat yang lain sibuk menyantap baklava di sebuah kafe kecil pinggir jalan. Raven enggak tahu aku membeli G-string itu. Rencananya akan kugunakan kalau-kalau kami harus berhubungan seks—yang sampai hari ini belum terjadi. Dan untuk menjadikannya kejutan, aku menyembunyikannya di dalam tasku.
"Untuk apa elo ngambil itu?" Raven menyipitkan mata memandang G-string merahku.
Aku sendiri memelotot karena malah benda itu yang keluar. "Aku ... aku ...." Aku menelan ludah. "Aku mau pake ini sekarang."
Raven mengerutkan alis. "Sekarang?" ulangnya. "Untuk apa?"
"Jadi aku enggak boleh pake ini sekarang?"
"Enggak ada yang larang elo pake itu. Tapi elo kan udah pake celana dalam sekarang. Kenapa harus diganti?"
"B-biarin." Aku membuka sabuk pengaman dan berlalu keluar sambil menggenggam G-string itu di tanganku. Aku berjalan ke belakang sambil mengangkat dagu. Kulihat Raven menggelengkan kepalanya dan lanjut membaca koran berbahasa Inggris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Rich Man Who Controls Everything
RomanceMonika, nama palsu (please jangan kasih tahu nama aslinya siapa) menganggap dirinya gadis sial yang lahir di keluarga miskin. Sampai umur sembilan belas tahun, pencapaian terbaiknya adalah menjadi Employee of the Month sebuah depstor kenamaan di Jak...