Tiga hari terakhir, Pandu merasa Vio sengaja menghindarinya. Tidak hanya menghindar berangkat bersamanya, gadis itu juga tidak terlalu antusias menanggapi pesan-pesan yang Pandu kirimkan sepanjang hari Sabtu kemarin. Butuh waktu yang cukup lama sampai balasan pesan dari Vio masuk ke ponsel Pandu, dan isinya begitu singkat, tidak membuka ruang untuk obrolan selanjutnya.
Pandu tahu, bisa saja Vio memang sibuk. Lagi pula, beberapa minggu lalu Vio memang sempat menyinggung masalah rekrutmen pegawai yang sedang diselenggarakan kantornya. Namun tetap saja, Pandu merasa ada yang salah.
Mungkinkah dia telah melakukan suatu kesalahan yang membuat Vio marah?
Pertanyaan itu terus saja memantul di kepala Pandu dan membuatnya gelisah.
Awalnya, Pandu turun ke lobi hanya untuk mengambil paket yang ditujukan kepadanya. Bisa saja dia meminta salah satu satpam untuk mengantarkan paket itu ke lantai sebelas, tetapi dia tidak suka merepotkan mereka. Dan kini, Pandu bersyukur dia memilih turun sendiri. Dengan begitu, dia akhirnya bisa bertemu Vio.
Begitu Pandu melihat Vio keluar dari lift, dia tidak ingin kehilangan kesempatan. Segera dihampirinya Vio hingga gadis itu tidak bisa mengelak lagi darinya.
"Mau ke mana, Vio?" tanya Pandu sambil menyunggingkan senyum yang telah menjadi ciri khasnya. Hari itu Vio terlihat manis dengan kaos putih polos dan rok jin selutut. Pandu tidak bisa mengalihkan pandangan dari sepasang mata yang mengerjap kikuk ke arahnya itu.
Vio menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga dan berusaha mengatur ekspresi agar tidak terlihat kaget saat melihat Pandu. Bagaimanapun juga, mereka tinggal di gedung yang sama, sudah sewajarnya kalau tidak sengaja bertemu seperti itu.
"Aku mau ke supermarket. Belanja bulanan." Vio menahan diri untuk tidak bertanya tentang Yudhis supaya percakapan mereka tidak makin panjang. Diperhatikannya kardus seukuran kotak sepatu yang tengah Pandu pegang, dan dia langsung mengerti alasan Pandu turun ke lobi tanpa dibuntuti Yudhis.
Senyum yang menghias bibir Pandu makin lebar, mengingatkan Vio pada poster-poster iklan pasta gigi yang dibintangi pria itu.
"Kebetulan saya juga perlu belanja bulanan. Tunggu sebentar, ya. Saya panggil Yudhis dulu," pinta Pandu dengan mata berbinar penuh harap, seperti yang dilakukan Yudhis tiap kali sedang membujuk.
Vio mencari alasan untuk menolak, tetapi tidak menemukan alasan yang cukup sopan agar Pandu tidak tersinggung. Setengah terpaksa, gadis itu menganggukkan kepala, lagi pula dia memang sedikit rindu dengan celotehan Yudhis. Menjauhi Pandu juga membuatnya jauh dari bocah itu. Beberapa hari terakhir terasa sedikit sepi baginya.
"Kalau gitu, aku tunggu di sana, ya, Mas." Telunjuk Vio terarah ke deretan sofa di sudut lobi, tempat dia biasa menunggu Pandu setiap pagi.
Pandu kemudian menghilang ke dalam lift untuk kembali ke apartemennya, memanggil Yudhis, juga mengambil dompet dan kunci mobil. Sebenarnya, dia sedikit berbohong tadi. Pandu jarang pergi berbelanja sendiri, biasanya dia menggunakan jasa personal shopper atau meminta tolong petugas kebersihan yang mengurus rumahnya.
Selain menjemput Yudhis, Pandu juga menyempatkan diri berganti pakaian. Dipilihnya jaket jin untuk melapisi kaos hitam yang telah dikenakannya. Dia juga menyambar kacamata bergagang bulat dan topi baseball dari rak untuk menutupi wajahnya. Tidak lupa dia mengantongi sehelai masker kain untuk nanti dia kenakan ketika sudah sampai di supermarket. Berbeda dengan lingkungan apartemen maupun sekolah Yudhis yang eksklusif, tidak ada yang tahu dia akan bertemu siapa di supermarket, bisa penggemar yang merepotkan ataupun wartawan gosip yang suka mencuri foto diam-diam.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Pandu telah keluar dari lift sambil menggandeng Yudhis. Bocah itu langsung berlari memeluk Vio.
"Tante ke mana saja? I miss you so ... much."
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me Love You, Violet. (Tamat)
RomanceSejak kedua orang tuanya bercerai, Vio tak lagi percaya pada cinta dan pernikahan. Hatinya sudah terlanjur patah. Baginya, janji setia sampai mati hanyalah bualan. Lebih baik dia menghabiskan hidup dalam kesendirian daripada harus merasakan sakitnya...