Ah.. Latihan basket pertamaku. Banyak sekali peminatnya. Dari kelasku, ada lima perempuan (Naza, Citra, Ate, Tiya, dan aku) dan tiga laki-laki yang berminat. Latihan diawali dengan lari memutari lapangan sebanyak tiga kali dan dilanjut pemanasan selama lima belas menit. Setelah itu, sekitar seratus orang yang ada di lapangan itu memperkenalkan dirinya masing-masing. Dari sana, aku mengenal beberapa anak yang terlihat mencolok (dari kelakuannya). Beberapa kakak kelas yang turut hadir saat itu, aku juga mulai menghafalkan namanya.
Gerakan pertama kali yang diajarkan adalah lay up. Lay up adalah suatu gerakan tembakan atau lemparan ke arah keranjang dengan cara melayang, yang dilakukan dengan satu tangan baik itu tangan kanan atau tangan kiri yang bertujuan untuk mendapatkan poin atau angka kalau kata Mbah Gugel. Gerakannya tak terlalu sulit, hanya saja aku tidak percaya diri dalam melakukannya. Takut salah, takut menjadi bahan tertawaan. Sepertinya Coach Bagus melihat ketidakpercayaan diriku.
"Gini ya, Coach?" sambil mencoba gerakan tersebut perlahan. Mengambil langkah dengan kaki kanan, lalu kiri dan... aku berhenti. Aku tidak berani melompat dan menembakkan bola ke arah ring.
"Ayo, yang pede dong! Jangan takut salah! Di sini semuanya sama-sama belajar, nggak bakal diketawain. Yang ngetawain, saya suruh push up. Ulangi, pelan-pelan aja, enggak usah buru-buru, tapi yang bener ya," kata-kata yang dilontarkan Coach Bagus membuatku lebih bersemangat dalam mengikuti ekstrakurikuler ini.
Benar, kita tidak perlu merasa takut ketika mempelajari sesuatu yang baru. Karena itulah yang dinamakan proses. Proses untuk menjadikan diri yang lebih baik lagi.
Sejak saat itu aku bertekad untuk berlatih dengan keras agar Si Bocah Kania yang tidak bisa apa-apa ini, memiliki sebuah keahlian. Sehingga dapat menjadikannya salah satu bagian dari tim basket sekolah dan siapa tahu bisa membawa piala bersama teman satu timnya?
Aku banyak berkenalan dengan anak kelas 7D. Banyak sekali diantara mereka yang mengikuti ekstrakurikuler ini. Bagiku, mereka sudah seperti teman seperjuangan untuk masuk tim. Mengapa bukan teman sekelasku sendiri?
Sebenarnya aku mulai dekat dengan Naza dan Citra. Namun, Citra lebih tertarik untuk bergabung dengan dancer sekolah lantaran ia takut dengan bola. Aku pun dengan Naza, tetapi Naza lebih suka bergaul dengan Tiya dan Ate. Sementara Ate, tampaknya ia tidak suka denganku. Aku tak pernah menyinggungnya, aku tak pernah melakukan hal yang macam-macam di depannya. Akan tetapi, selalu saja ia melemparkan tatapan sinis padaku. Aku ingin berteman dengannya, aku tidak ingin memiliki musuh di sekolah ini. Tatapan Ate seperti mengisyaratkan kalau aku ini orang yang suka mencari perhatian. Boro-boro. Aku tidak terlalu suka dikenal banyak orang. Mungkin Ate hanya salah paham.
Kala itu, aku bisa saja berkata Ate hanya salah paham. Faktanya, dia melakukan hal-hal yang lebih. Aku ingat, saat itu materi olahraga adalah bola basket. Anak perempuan dibagi menjadi dua. Tentu ia bersama gengnya (Naza, Rifa, Tiya, Citra) dan beberapa anak lain yang dirasa menguntungkan. Sementara aku, bersama sisanya. Aku tak mengatakan timku buruk, mereka hanya teman yang baik padaku. Itu pun cukup.
Saat permainan dimulai, Ate sungguh mendorongku, menyikutku tepat di pinggang dan perut, dan menarik tanganku dengan keras. Dari permainan itu, terlihat jelas Ate tidak menyukaiku. Yah, kuakui itu menyakitkan. Memang benar basket ada main fisiknya. Tapi hey, ini bukan pertandingan formal. Aku bahkan tak pernah main fisik saat latihan, kecuali memang diharuskan begitu untuk berlatih. Itu pun tak sampai menyikut bagian perut.
Setelah kejadian itu, menurut Kania, Ate hanya gadis yang berlagak bisa bermain basket dan menyombongkan yang segala hal ia punya. Tiba-tiba ia juga meninggalkan ekstra basket dan mengikuti seleksi untuk menjadi dancer. Betul dia gadis yang cantik. Badannya bagus. Kakak kelas banyak yang mau dengannya.
Meskipun begitu, kegiatan basket ku tak berhenti. Aku tetap berlatih dengan keras, sampai aku mengikuti club basket yang disarankan pelatihku bersama Lisa dari kelas 7D. Ternyata, beberapa kakak kelasku (tim inti) ikut club itu. Club ini sangat membantuku meski setiap minggu pagi aku harus datang ke tempat latihan dari ujung ke ujung kota, tepat jam delapan pagi harus sampai di sana.
Kemampuanku berkembang pesat. Teman-teman baru dari club menerimaku dan Lisa dengan sena'g hati. Mereka juga mau mengajari kami. Juga, pelatih baruku sangat sabar saat mengajar kami. Setelah itu, aku dimasukkan ke tim A yang memiliki kesempatan lebih besar untuk masuk tim inti.
***
Ada satu rahasia lagi. Kania membuatnya saat kelas tujuh ini. Kania, membuat teman imajinasinya.
Tidak tahu dapat ide darimana, sepertinya memiliki teman imajinasi adalah hal yang menyenangkan. Ada yang bisa diajak mengobrol tanpa harus takut tentang apa yang akan dikatakannya. Hanya aku yang bisa merasakannya. Tanpa orang lain tahu.
Setidaknya aku punya tiga 'teman'. Diriku yang lain, kakak laki-laki, dan pacar. Agak seram kedengarannya. Pacar dalam pandangan anak kelas tujuh itu apa sih? Jika bocah itu ditanya, ia akan menjawab, support system. Teman-teman imajinasinya menjadi alasan hidup untuk Kania. Mereka kadang memarahiku, menghiburku, menemaniku di saat aku sepi. Hanya mereka yang memahami gejolak emosi yang ada pada diriku.
Jika diharuskan untuk memilih teman asli atau teman imajinasi, aku memilih teman imajinasi. Aku bisa menangis sepuasnya tanpa takut terhakimi. Marah sepuasnya tanpa satupun manusia tersakiti karena ulahku.
Aku akan memperkenalkan mereka pada kalian semua.
Diri ku yang lain, Nia, suka sekali mengingatkanku, memberitahuku mana yang benar, mana yang salah. Tak segan ia memarahiku. Selanjutnya, ia akan menenangkanku, memelukku dan berkata bahwa di hidup ini semuanya pernah melakukan kesalahan dan aku salah satunya. Aku tidak pernah membencinya karena aku tahu dia benar. Itu membuatku sadar bahwa aku tak sepenuhnya membenci diriku.
Kakak laki-laki, Kai. Selayaknya kakak laki-laki yang baik, yang jarang orang punya. Ia akan mengingatkanku jika melakukan kesalahan dengan lembut, tak ada marah-marah. Akan tetapi, ia paling jarang muncul diantara ketiganya.
Pacar imajinasiku, Arsen. Diambil dari unsur Arsenik. Kenapa? karena aku menyukai sesuatu yang bisa membahayakan diriku.
Kebalikan dari namanya, Arsen sangat menyayangiku dan aku pun juga menyayanginya. Dia ada di mana pun aku berada. Setiap kali aku memeluk sebuah benda, rasanya Arsen yang memelukku. Entah bagaimana caranya, rasanya hangat. Ia ada disaat aku mengamuk, menangis, dan bahagia. Dia ada. Kapanpun aku membutuhkannya.
Setiap aku meminta sesuatu kepadanya, itu berarti aku meminta sesuatu itu ke diriku sendiri. Itu yang memacuku untuk terus berjuang melawan pahitnya hidup. Aku selalu meminta kepadanya, jangan meninggalkan bocah bodoh ini. Alay kesannya, tapi sampai sekarang, aku masih bertahan karenanya.
Memang dalam hidupku banyak tokoh yang tak terlalu sering muncul. Namun, tanpa mereka --termasuk teman imajinasiku-- aku tidak akan tahu aku sedang apa sekarang, apa aku bahagia atau tidak, apa aku...
masih hidup?
September 13
-Craxx.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU (Tidak) Bahagia.
Fiksi Remajabroken inside. Aku ingin menghilang. Hatiku penuh luka. Mental rusak. Otakku mulai terpengaruh kegilaan ini. Aku akan membawamu melintasi ruang waktu, melihat betapa kejamnya dunia padaku dan manusia yang merasakan hal serupa. cerita ini mengandung...