Bawa Aku Pulang | 2

332 14 1
                                    

Sepulang sekolah, aku menemuinya. Ia terduduk di kursi yang tersedia di area parkir motor. Lalu berjalan mendekatiku yang sudah berdiri di samping sepeda motor. Kejadian seperti kemarin terulang lagi, aku memberikannya helm, lalu ia mengambil dan memakainya.

"Maaf ya, Za, kalo gue ngerepotin terus." Katanya saat sedang di perjalanan menuju rumahnya.

"Ah, gapapa, Wid."

"Dulu gue pernah pulang naik bus, tapi enggak tau kenapa gue sial banget hari itu. Gue kecopetan di bus. Semenjak itu gue enggak pernah naik bus lagi. Lama-lama malah takut naik bus."

"Kalau naik bus bareng temen takut juga?"

"Tergantung, kalau rame-rame sih enggak takut. Tapi kalau cuma berdua temen, gue tetep takut."

"Kok sampe bisa takut gitu, deh?"

"Enggak tau, takut aja rasanya. Gue lebih milih pulang naik taksi atau ojek daripada naik bus."

"Wah. Sayang banget. Rumah lu kan lumayan jauh. Ongkosnya bisa mahal kalo naik taksi."

"Iya. Itulah kenapa gue minta nebeng sama lu, Za. Hahaha." Widya tertawa.

"Hahaha, bener." Aku ikut tertawa.

Hari itu aku mengetahui alasan ia memintaku untuk mengantarnya pulang. Bukan karena ia tertarik denganku, melainkan ia takut untuk pulang menaiki kendaraan umum. Aku menyadari betapa bodohnya aku yang terlalu percaya diri, menganggap Widya tertarik denganku. Dan di saat itu juga aku baru menyadari bahwa teman-temanku benar saat di kantin tadi. Bahwa Widya tidak memberikan senyumannya untukku. Tapi untuk semua teman-teman organisasi osis yang sedang duduk bersamaku.

"Emang terkadang kendaraan umum membahayakan, Wid. Wajar kalau lu takut naik bus lagi."

"Iya, Za, bener. Tapi untungnya lu mau nganterin gue pulang. Kalau enggak ada lu, gue enggak tau deh harus pulang naik apa."

"Iyaa. Naik taksi pasti mahal banget."

"Iyaa, taksi mahal, terus macet juga. Kalau naik ojeg, gue harus jalan dulu ke depan untuk nyari tukang ojeg, keburu capek."

"Haha, iyaa bener."

"Sekali lagi, makasih, ya, Za."

"Iyaa, Wid, santai aja."

Setelah cukup lama di perjalanan, akhirnya aku sampai di depan gerbang rumahnya. Hal seperti kemarin terulang lagi. Widya turun dari sepeda motorku, memberikan helm yang sejak tadi ia pakai, lalu kugantung di cantelan yang berada di bawah jok motorku.

"Mau mampir dulu, enggak, Za?"

"Ah enggak usah, Wid."

"Tadi perjalanan macet banget, kan? Pasti lu capek. Minum dulu aja di rumah gue."

Nyatanya memang perjalanan menuju rumahnya sangat macet, dan aku cukup haus karena sudah berlama-lama di jalan dan ngobrol dengannya.

"Yaudah, deh." Aku memasukkan sepeda motorku ke dalam gerbang rumahnya, lalu mengikutinnya masuk ke dalam untuk duduk di ruang tamunya.

Tak lama, Ibu dan Ayahnya keluar dari salah satu ruang rumahnya. Aku hanya salim dengannya malu-malu.

"Temennya Widya, ya?" Tanya ayahnya.

"Iya, Om."

"Rumahnya di mana?"

"Di Pasar Minggu, Om."

"Oh jauh juga, ya?"

"Ah enggak, Om, deket kok."

"Kalau jalanan lagi macet, sih, berasa jauh juga itu."

Bawa Aku Pulang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang