Setelah hari itu, Widya selalu mengirimiku pesan di pagi hari yang isinya meminta untuk kuantar pulang. Dan aku selalu mengiyakan apa yang ia inginkan. Karena, yang kurasakan setelah dua hari aku mengantarnya pulang, aku merasa cukup dekat dengaannya. Apalagi, Widya mengirimiku pesan dan meneleponku juga setelah aku selesai mengantarnya. Hingga semakin lama, aku semakin mengenalnya, dan semakin tenang saat harus berurusan dengannya.
"Emang biasanya kalau pulang sekolah, enggak main dulu?" Tanyanya saat di perjalanan menuju rumahnya.
"Kadang-kadang gue main sama temen-temen SMP."
"Berarti udah lama, dong, lu enggak main sama temen-temen SMP lu. Kan lu nganterin gue pulang terus."
"Iyaa, udah lama. Tapi mereka juga pada sibuk, sih."
"Oh gitu."
"Kalau lu, Wid?"
"Gue? Ah gue mah di rumah aja."
"Emang enggak ada temen?"
"Ada temen, tapi rumahnya pada jauh-jauh banget. Paling ketemuan sebulan sekali, atau dua bulan sekali."
"Sepi dong, di rumah terus?"
"Enggak juga, sih. Kan ada kakak-kakak gue. Sebelumnya juga gue kan punya pacar, Za. Jadi enggak terlalu kesepian. Cuma akhir-akhir ini aja kadang ngerasa sepi karena gue jomblo."
"Hahaha, kasian banget jomblo."
"Heh! Ngaca!" Widya menepuk pundakku."
"Hahaha, tapi seenggaknya gue enggak pernah kesepian, Wid."
"Kok bisa?"
"Sama, karena di rumah selalu ada kakak-kakak gue. Lagi pula, di sekolah, gue udah punya banyak temen."
"Iya, sih. Bener juga. Tapi, omong-omong, lu kenapa belum punya pacar, Za?" Tanyanya lagi
Aku terdiam sebentar, memikirkan jawaban apa yang paling pantas untuk kukatakan padanya. Aku tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak ingin mengatakan bahwa aku masih mencintai orang yang sudah kusuka sejak tiga tahun yang lalu. "Gapapa, gue belum siap pacaran aja."
"Haha, sayang banget. Biasanya, anak seumuran kita lagi seneng-senengnya pacaran."
"Iya, sebenernya gue juga seneng. Tapi belum pengen aja."
"Kenapa enggak pengen? Emang enggak iri sama temen-temen lu yang punya pacar?"
"Kadang sih iri, tapi kadang gue ngerasa seneng juga ga punya pacar. Enggak ada yang ngeribetin. Hahaha. Temenin ke sinilah, temenin ke situlah. Enggak boleh inilah, enggak boleh itulah."
"Hahaha. Bukannya ngeribetin, cewek itu perhatian, dan pengen bareng-bareng terus." Katanya membela diri.
"Ah bisa aja lu."
"Ih! Beneran." Ia mencubit pinggangku pelan.
"Iya-iya cewek enggak ngeribetin."
Hingga waktu terus berjalan, aku semakin sering mengantarnya pulang. Perasaanku berubah setelah sering bersama dengan Widya. Dari yang merasa hanya mengantar teman satu organisasiku pulang, kini aku merasa seperti mengantar salah satu teman terdekatku untuk pulang. Aku sudah menganggap Widya sebagai teman dekatku. Karena sepertinya ia sudah mengenalku begitu dalam.
--
Oh iya, soal Fira, Aku masih mencintainya sampai sudah empat bulan aku berpisah sekolah dengannya. Dia berada di salah satu sekolah negeri di Jakarta, sedang aku sekolah di salah satu sekolah swasta. Fira memang pintar, dan aku tidak sepintarnya. Itulah yang memisahkanku dengannya. Padahal, aku berharap sekali bisa satu sekolah lagi dengannya. Tapi apa boleh buat? Otakku tidak mengizinkannya.
"Tadi di kelas, ada ulangan pelajaran ekonomi." Kata Fira saat aku menelponnya di malam hari.
"Terus gimana? Lu bisa ngerjainnya?"
"Gue udah belajar semaleman, tapi tetep aja pas ngeliat soal-soalnya, tetep pusing."
"Ah tetep pusing tapi gue yakin nilainya bagus."
"Haha, amin, Za. Semoga aja."
"Iyalah, dari dulu kan juga begitu. Pusing ngerjain ulangan atau ujian, tapi ternyata nilainya bagus."
"Gue beneran pusing, Za. Kalo kebanyakan mikir tuh rasanya capek banget."
"Hati-hati botak, mikir mulu."
"Ih! Amit-amit!" Katanya dengan nada sedikit marah.
"Hahaha." Aku hanya mentertawainya sambil membayangkan bagaimana ekspresinya saat itu. Pasti lucu sekali.
"Lu gimana, Za? Ngapain aja tadi di sekolah?"
"Enggak gimana-gimana. Berjalan biasa aja. Enggak ada ulangan juga."
"Temen-temen di sana pada asik-asik, enggak?"
"Asik, kok. Baik-baik."
"Kalau cewek?" Tanyanya lagi.
"Cewek?" Kataku seolah bertanya pada diri sendiri. "Temen gue kebanyakan cowok, Fir. Enggak terlalu deket sama cewek di sekolah."
"Sama, Za. Gue juga di sini mainnya sama cewek doang, jarang main sama cowok." Katanya.
Baguslah. Aku lega sekali saat mendengar ia bicara seperti itu. Karena jika ia dekat dengan laki-laki di sekolahnya, aku yakin laki-laki itu akan mendekatinya dan menjadikan Fira sebagai kekasihnya. Kurasa Fira adalah perempuan yang manis, hingga bisa jadi banyak laki-laki yang menginginkan Fira untuk menjadi kekasihnya.
--
"Za, makan dulu, yuk." Kata Widya saat di perjalanan menuju rumahnya.
"Makan apa?"
"Makan steak."
"Ah gaya banget makannya steak."
"Gapapa, ini steaknya murah soalnya hahaha." Widya tertawa.
"Emang ada steak murah?"
"Ada, makanya ayo kita makan dulu."
"Di mana lokasinya?"
"Enggak jauh kok dari rumah gue, nanti gue tunjukin arahnya."
"Oh yaudah, deh."
Widya menunjukkan arah menuju restoran steak yang ia maksud. Aku mengikuti saja apa yang ia arahkan. Kebetulan aku sudah cukup lapar. Kurasa, tawarannya begitu pas dengan kondisi perutku sore ini.
"Ini tempatnya?" Kataku setelah sampai di restoran yang Widya maksud.
"Iya, di sini." Balasnya.
Widya turun dari sepeda motorku, aku juga mengikutinya. Lalu bersama memasuki restoran itu.
"Lu mau yang mana?'
"Emang ada steak apa aja?" Aku nanya.
"Banyak, ini liat aja menunya."
"Yang enak yang mana?" Tanyaku sambil melihat-lihat buku menu.
"Yang enak yang dibayarin!"
"Hahaha." Aku tertawa. "Iyalah, dan hari ini gue dibayarin, kan?"
"Hahaha." Widya hanya tertawa.
"Yaudah samain aja sama lu, deh. Gue belum pernah makan yang kaya gini."
"Serius belum pernah?"
"Iya, gue jarang pergi. Lebih sering makan di rumah."
"Iya juga, sih. Kan lu jomblo. Mau pergi sama siapa juga?"
"Gue jarang pergi bukan karena jomblo, Wid. Karena emang males aja."
"iya, iyaaa." Balasnya seperti memaksakan untuk menerima penjelasankku.
Di sana, kami menghabiskan sore berdua. Menikmati steak daging dengan sesekali tertawa bersama Widya karena mendengar cerita-cerita konyol dari masing-masing antara aku dan dia. Widya adalah gadis cantik yang menurutku sangat baik. Dia sangat ramah denganku dan cukup terbuka perihal kehidupannya. Ia menceritakan banyak hal tentang kehidupannya. Soal keluarga, soal hobi, soal cita-cita, dan soal kisah asmaranya yang gugur beberapa waktu lalu.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Bawa Aku Pulang (End)
RomanceBy a True Story Tentang dua anak muda yang menghabiskan waktunya bersama di masa putih abu-abu. -- Ponselku bergetar. Layarnya menyala terang. Nama Widya muncul di sana. "Za. Belum tidur?" Tanyanya dalam pesan itu. Aku melirik jam yang terdapat di s...