Bawa Aku Pulang | 5

199 12 0
                                    

Widya sendiri lagi, dan kini, akulah yang menemani kesendiriannya. Di setiap pulang sekolah, ia selalu menungguku di parkiran motor. Lalu duduk di belakangku untuk kuantar pulang ke rumahnya. Mengantarnya pulang kini sudah menjadi keseharianku.

Terkadang, saat merasa lelah, sebenarnya aku tidak ingin mengantarnya, dan rasanya ingin langsung pulang ke rumahku untuk beristirahat.Tapi entah kenapa, aku tidak bisa mengatakan hal itu pada Widya. Aku tidak bisa menolak permintaannya.

"Nongkrong dulu, lah, Za." Kata Farhan saat selesai kumpul organisasi sekolah.

"Duh, gue harus nganter Widya pulang."

"Dia suruh nunggu aja."

"Enggak enak, gue, Han. Nanti aja deh, kapan-kapan gue ikut nongkrong."

"Emang kenapa harus lu yang nganterin dia pulang, sih? Dia kan banyak temennya, dia juga banyak yang deketin?"

"Gue juga enggak tau, Han."

"Tapi lu sebenernya capek, enggak, sih? Rumahnya kan jauh?"

"Capek, Han."

"Tapi kenapa mau nganterin?"

"Soalnya gue kasian sama dia, dia trauma naik kendaraan umum."

"Berarti, lu terpaksa, dong nganterin dia?"

Aku terdiam sebentar. Apa yang dikatakan Farhan ada benarnya, terkadang aku malas sekali mengantarnya pulang. Tapi, aku tetap memaksakan diriku untuk mengantarnya.

"Engga tau juga, sih. Tapi kalo gue lagi capek, sih, kayanya kadang terpaksa."

"Yaudahlah ngomong aja sama dia, kalo lu capek, atau kalo lu mau ikut nongkrong dulu. Lu haris berani ngomong, Za."

"Pengennya sih, gitu. Tapi kalo gue udah ketemu dia, gue enggak bisa nolaknya, Han. Susah."

"Soalnya dia cantik, Za. Kalo jelek juga gue yakin lu enggak mau."

"Hahaha." Aku tertawa. Farhan ada benarnya.

"Yaudah gue cabut duluan, ya?" Kataku sebelum meninggalkan Farhan untuk ke parkiran motor.

--

"Temenin gue nonton." Katanya sepulang sekolah, saat aku baru sampai di parkiran motor.

"Temenin nonton?" Aku nanya.

"Iya, gue lagi pengen nonton bioskop."

Aku terdiam saat ia bicara seperti itu. Menurutku, menonton film di bioskop bukanlah hal yang bisa ditemani. Tidak seperti menemani mencari buku, atau menemani makan di kantin. Menonton adalah hal yang berbeda. Tapi yasudahlah, sepertinya Widya memang ingin mengajakku nonton film, tapi cara mengajaknya saja yang aneh.

"Mau nonton apa?"

"Apa aja, deh."

Sore itu kami pergi ke sebuah mal yang enggak begitu jauh dari sekolah. Banyak di antara teman-temanku yang memilih mal tersebut jika ingin bermain sepulang sekolah. Karena tidak hanya dekat, mal itu cukup besar. Sehingga banyak tempat yang bisa didatangi di mal itu.

Sesampainya di sana, kami segera membeli tiket bioskop. Widya yang memilih film itu. Film romansa. Aku ikuti saja kemauannya. Namun biarpun Widya yang mengajak, aku tetap mengeluarkan uangku untuk membayarkan tiketnya. Entahlah, rasanya aneh jika saat membayar tiket bioskop, aku hanya diam-diam saja di sebelahnya.

"Nih, duit gue." Katanya setelah kami selesai membeli tiket. Saat itu kami sedang berjalan ke luar area bioskop.

"Enggak usah. Simpen aja." Balasnya.

"Enggak ah. Ini duitnya." Widya sedikit memaksa.

"Enggak ah." Aku tetap menolaknya. Aku tidak mau setengah-setengah saat memberikan sesuatu pada seseorang. Sekali aku berikan, yasudah. Jangan mau mengambilnya kembali.

"Ih! Gue yang ngajakin, kenapa malah lu yang bayarin, sih?" Katanya sedikit kesal.

"Hahaha." Aku hanya tertawa.

Kami memasuki sebuah restoran cepat saji. Memesan makanan dan minuman, lalu duduk berhadap-hadapan di kursi yang tersedia di sana. Kondisi mal tidak terlalu ramai. Entahlah, mungkin karena sedang tidak akhir pekan. Biasanya mal akan sangat ramai di akhir pekan.

"Za. Gue baru putus sama Rudi. Eh udah ada yang nembak gue lagi."

"Hah!?"

"Kenapa kaget banget, sih? Lebay banget. Hahaha." Widya tertawa.

"Ya gimana enggak kaget? Baru putus udah ada yang nembak lagi."

"Gue juga heran. Yang nembak gue temennya Rudi."

"Temennya Rudi!?" Aku terkejut sekali lagi.

"Iyaa."

"Orang gila." Kataku kesal.

"Hahaha." Widya tertawa.

"Temennya baru putus sama lu, eh tiba-tiba dia nembak lu. Gilaaaaa."

"Hahaha." Ia terus tertawa. "Padahal gue sama Hendri enggak akrab-akrab banget. Tapi tiba-tiba dia bilang dia suka sama gue."

"Terus lu bilang apa?"

"Gue cuma ketawa pas dia bilang begitu."

"Lah? Kok malah ketawa?"

"Lucu, Zaaa."

"Hahaha. Itu enggak lucu, ya? Bagi gue soal perasaan, enggak pernah lucu. Perasaan itu datang dengan sendirinya, enggak gampang untuk kita usir. Dan selama kita enggak bisa ngusir perasaan itu, rasa sakit akan selalu ada di dekat kita."

"Iya-iyaaa." Balasnya sedikit kesal. "Iya gue setuju kalo perasaan emang enggak lucu. Tapi yang lucu ya Hendrinya, Za. Ngobrol jarang, ketemu jarang. Tiba-tiba di kelas dia bilang suka sama gue. Udah gitu ngomongnya malu-malu gitu. Gimana gue enggak ketawa?"

"Iya juga, sih. Itu aneh banget si Hendri."

"Hahaha." Widya tertawa lagi.

Kami terus berbincang sambil menghabiskan makanan yang sudah kita beli. Lalu segera kembali ke bioskop untuk menonton film yang tadi sudah dibeli tiketnya.

Hari itu, pertama kalinya aku dan Widya bersama-sama melewati sore sampai malam. Di hari itulah aku semakin mengenal Widya. Soal bagaimana hidupnya di masa lalu, soal keluarganya, soal teman-temannya.

Kami berdua semakin dekat. Widya juga sudah mengetahui hal-hal tentangku. Tentang berapa jumlah keluargaku, soal masa laluku. Tapi, aku tidak ceritakan soal Fira. Temanku yang sampai hari ini masih manjadi pemilik hatiku.

--

Bawa Aku Pulang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang