Bawa Aku Pulang | 7

186 10 0
                                    

Setelah kejadian itu, hidupku terasa ada yang berbeda. Seolah apa yang sudah kulewati sekitar setahun ke belakang ini tidak terjadi. Widya sudah tidak lagi meneleponku, ia sudah tidak lagi mengirimkan pesan padaku.

Mungkin, Widya sudah bahagia dengan Doni, kekasihnya. Atau mungkin sebenarnya Widya kecewa dengan apa yang ia dengar dari Farhan. Perihal aku yang merasa direpotkan sampai-sampai merasa dimanfaatkan.

Entah. Aku pun lebih memilih untuk diam dan tidak perlu membahas itu pada Widya. Aku juga tidak mempermasalahkannya pada Farhan. Aku rasa, ini hanya kesalahpahaman biasa. Farhan tidak mungkin bermaksud untuk menyalahkanku, ia juga tidak mungkin memiliki keinginan agar aku bertengkar dengan Widya. Karena yang aku tahu, Farhan menyukai salah satu anggota organisasi sekolah juga. Diana namanya.

Selama ini, Farhan bilang bahwa ia tertarik dengan Diana. Gadis cantik yang terlihat sangat pendiam. Gadis cantik yang sebenarnya juga banyak disukai oleh teman-temanku yang lain.

Pernah suatu hari, Farhan mengantar Diana pulang ke rumahnya, dan keesokan harinya, Farhan ceritakan padaku tentang bahagianya dia bisa mengendarai motor membonceng Diana, mengantar gadis kesayangannya itu.

--

Setelah beberapa bulan, Widya akhirnya mengirimiku pesan.

"Za." Katanya dalam pesan itu. Sangat singkat memang.

"Kenapa, Wid?" Balasku.

Ternyata Widya bertengkar dengan Doni,  kekasihnya. Lalu ia mengakhiri hubungan percintaannya. Dan dengan sangat terpaksa ia mengirimkanku sebuah pesan lagi, yang isinya meminta untuk diantarkan pulang lagi. Aku mengiyakan permintaannya, dan sebisa mungkin tidak mau terlihat merasa dimanfaatkan.

Cukup sudah permasalahanku dengan Widya. Semoga, besok, setelah aku mengantarnya pulang, hubungan kami kembali membaik. Tidak ada lagi canggung, tidak ada lagi merasa tidak enak sebab takut merasa direpotkan. Aku sebisa mungkin bersikap santai dan tenang. Berusaha agar Widya merasa aku senang mengantarnya pulang.

Setelahnya kami semakin dekat. Widya tidak memiliki kekasih, sepertinya ia merasa kesepian. Suatu waktu ia mengajakku untuk menonton sebuah film di bioskop. Lagi-lagi aku mengiyakan tawaran dari teman dekatku itu.

"Sial, film horor." Kataku dalam hati saat melihat tiket yang ia pesan. Selama ini, tidak pernah sekalipun aku menonton film horor di bioskop. Aku laki-laki penakut. Rumahku berada di ujung gang, dan kata orang-orang sekitar, rumahku angker. Sehingga sampai berusia tujuh belas tahun pun, aku masih sering merasa takut.

Dengan sangat terpaksa aku menonton film itu. Saat setan itu muncul, aku berusaha menutup mataku dengan kedua telapak tanganku. Widya tertawa melihatku.

"Jangan ketawa." Kataku kesal.

"Abis lu lucu."

"Apanya yang lucu?"

"Lu penakut."

"Awalnya gue kira kita mau nonton film romance, atau mungkin film komedi. Padahal, gue sudah siap untuk ketawa-tawa."

"Gue enggak terlalu suka film komedi."

Tak lama suara yang keluar dari pengeras suara bioskop kembali mencekam, setan itu sepertinya akan muncul lagi di layar lebar yang berada persis di depanku.

Karena ketakutan, aku menutup lagi mataku dengan kedua tanganku. Namun Widya menggangguku, ia berusaha menarik tanganku agar aku melihat apa yang muncul di layar besar di hadapanku. Aku menahan tarikan tangannya sekuat tenagaku. Sehingga aku masih tetap bisa menutupi mataku dengan kedua tanganku.

Namun, Widya tidak juga berhenti. Ia masih terus menggangguku. Ia menarik-narik tanganku agar aku tidak bisa menutup mataku. Padahal, saat itu aku bisa tidak melihat layar bioskop hanya dengan menutup kedua tanganku. Namun, mungkin karena sudah ketakutan, aku panik, dan berusaha untuk menutup mataku dengan telapak tanganku. Memang bodoh. Tapi aku rasa wajar aku bertingkah bodoh saat sedang ketakutan.

Hingga akhirnya,aku menarik tangan Widya yang sedang menggangguku, lalu menggunakan pergelangan tangannya untuk menutupi pandanganku. Widya tidak menolak, ia tertawa lagi. Aku senang melihatnya tertawa.

Sepanjang film, aku memegang tangannya,  menyelipkan jemariku di sela-sela jemarinya. Lalu, mengangkat tangannya hingga menutupi mataku jika kondisi film sedang seolah ingin menampilkan sosok setan brengsek itu. Entahlah. Saat itu, rasanya senang sekali bisa menggenggam erat tangannya.

Setelah film itu berakhir, karena kurasa sudah terlalu malam, aku segera mengantarnya pulang.

"Kenapa putus sama Doni?" Tanyaku di perjalanan menuju rumahnya.

"Dia sering pergi dengan perempuan lain."

"Berdua?"

"Iyaa. Gue cemburu. Tapi, setelah gue marah sama dia, eh dia masih sering pergi sama perempuan sialan itu."

"Kalo kata gue, sih. Emang lebih baik lu putus aja sama dia, Wid."

"Menurut lu itu hal yang bagus?"

"Iya, mempertahankan seseorang yang selalu bikin lu sakit hati, bagi gue adalah hal yang bodoh. Menurut gue, yang lu lakuin sudah bener."

"Bener juga, lu, Za."

"Tapi sekarang, lu udah enggak sedih lagi, kan, Wid?"

"Enggak. Biasa aja."

"Cepet banget, ya?"

"Sebenarnya, selama ini, gue masih cinta sama Yusuf, Za."

"Selama lebih dari dua tahun lu putus sama Yusuf, lu masih juga sayang sama dia?"

"Iya. Bagi gue, selama ini, dia yang terbaik. Dan gue belum ketemu sama orang yang bisa gantiin posisi dia di hati gue."

Aku sedikit terheran saat itu. Ia beberapa kali memiliki kekasih setelah putus dengan Yusuf. Tapi ia bilang, ia masih mencintai Yusuf. Bagaimana caranya ia menjalin hubungan dengan seorang pria saat di hatinya masih ada masa lalunya?

Entahlah. Aku tidak bisa seperti Widya. Selama ini, aku masih mencintai Fira. Walau hubunganku dengan FIra sudah tidak seperti semula. Walau aku sudah jarang menelepon dan berbalas pesan dengannya. Namun, hatiku masih untuknya. Dan aku sama sekali tidak bisa menjalin hubungan dengan perempuan lain saat aku masih mencintai Fira.

Sesampainya di rumah Widya, aku mengeluarkan sebuah kantong dari tasku. Lalu memberikannya pada Widya.

"Apa ini?" Tanyanya.

"Hadiah ulang tahun. Beberapa hari yang lalu, lu kan ulang tahun."

"Hahaha. Telat banget."

"Gapapa telat, dari pada enggak ngasih, kan?"

"Enggak ngasih juga gapapa, sih, Za."

"Hahaha lagi pengen ngasih aja. Itu sebenernya udah dibeli lama. Tapi enggak pernah gue pake."

Widya membuka  bungkusan itu, lalu mengeluarkan sebuah earphone. "Wah earphone!" Katanya.

"Buat denger musik."

"Makasih, Za. Lumayan, buat nelepon juga."

"Iyaa. Sama-sama." Balasku sebelum akhirnya aku pamit untuk pulang.

----

Bawa Aku Pulang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang