DUA PULUH ENAM

169 41 0
                                    

Senja Bayu POV


Benar seperti yang dikatakan Bu Nino, ada pintu rahasia lagi di ruang bawah tanah kantor Indira. Sesuatu yang aku dan Lydya tak sadari. Bagaimana tidak, pintu itu membaur dengan baik bersama lantai besi. Meskipun ada pegangan, tak terlalu disadari untuk orang yang baru beberapa kali kemari.

Bu Nino berhenti sejenak di depan pintu besi itu. Ia mengelap ujung telunjuknya ke sisi besi pintu itu. Kemudian terdiam cukup lama, tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Kenapa bu?" tanya Lydya.

"Oh, bukan apa-apa" ujarnya sambil tertawa meringis.

Dalam satu hentakan, ia berhasil mengangkat pintu itu, dan...

BLAMM...

Pintu itu terbanting dengan cukup keras ke lantai sebelahnya. Debu-debu tebal beterbangan seolah terusik dengan suara keras yang bahkan sampai beberapa detik setelahnya masih berputar-putar di ruangan ini.

"Bu, bagaimana kalau Indira mendengarnya!" ujarku kesal.

Ia seperti baru saja ingin memancing Indira dengan sengaja. Meskipun memang sejak kami kemari tak ada tanda-tanda Indira. Wanita tua itu hanya menyengir dengan santai, lalu mengambil langkah turun ke bawah.

"Ayo!" ujarnya.

***

Sebenarnya aku sedikit kewalahan mengikuti langkah kaki bu Nino yang begitu cepat. Tapi sepatah kata pun aku tak berbicara, bahkan untuk sekedar memintanya memperlambat jalan kami. Lydya juga sama, sesekali aku mendapatinya mencoba mengatur napasnya.

"Kau tak apa?" tanyaku pada Lydya.

Ia hanya mengangguk.

"Sebentar lagi kok kita sampai" ujar Bu Nino.

Kami tertinggal satu setengah meter darinya. Langkah kakinya benar-benar begitu cepat. Sampai aku lupa kalau beliau semasa aku kost di tempatnya pernah mengalami pengapuran sendi.

"Dulu itu, ia hanya pura-pura atau bagaimana" gumamku.

"Kenapa?" tanya Lydya yang menangkapku berbicara sendiri.

Aku hanya menggeleng. "Ayo cepat! Orang itu sudah menghilang dari jangkauan" ujarku menunjuk lurus ke lorong yang mulai berbelok itu.

***

Rasanya lebih dari sejam kami menempuh lorong panjang ini. Benar-benar lorong yang panjang. Aku tak tahu kalau di permukaan tanah, sebenarnya kami sedang berada dimana saat ini. Karena jelas bukan lagi di area gedung kantor Indira lagi. Ini terlalu jauh.

"Akhirnya sampai juga" gumam Lydya.

Ia menyenggol lenganku sambil menunjuk lurus ke arah depan. Bu Nino sudah berdiri di ujung lorong. Kurang lebih 20 meter lurus ke depan dari posisi kami saat ini. Tapi kami hanya mempercepat langkah, kalau untuk berlari, rasanya sudah tak kuat lagi.

"Di mana mereka?" tanyaku tepat ketika kami sampai ke ujung lorong.

Tidak, lebih tepatnya persimpangan. Karena ternyata di sebelah kanan dan kirinya ada lorong panjang lagi.

"Untuk apa sebenarnya orang gila itu menggali lorong sepanjang ini" ujarku kesal.

Bu Nino tertawa cukup keras mendengar kalimatku itu. Sekali lagi, ia membuat suara yang terlalu berisik. Apalagi di lorong kosong seperti ini, suaranya memantul ke sepanjang dinding.

"Kau gila?" ujarku naik pitam.

"Kau duluan yang membuat lelucon menggelikan itu" ujar bu Nino.

"Kau!!" ujarku geram. Kepal tanganku sudah sangat ingin memukulnya.

Kalau tidak dihentikan Lydya mungkin aku sudah memukulnya. Sesaat aku benar-benar lupa kalau dia pernah ku anggap sebagai orang tua angkatku.

"Dia di dalam" ujar Bu Nino. "Lilia"

Lydya segera mendekat ke dinding besi seperti penjara di sebelah bu Nino. Berusaha mencari sosok lilia di tengah terbatasnya penerangan di sini.

"Ada?" tanyaku singkat pada Lydya.

"Ada!" ujar Lydya dengan cukup bersemangat ketika melihat sosok jauh di ujung ruang penjara itu.

"Bagaimana dengan pak Oji dan Dila?" tanyaku pada Bu Nino.

"Aku tak tahu" ujarnya. "Kita selamatkan satu-satu"

Ya, aku tak bisa memaksanya untuk tahu semuanya. Ini ulah adiknya, bukan bu Nino. Meskipun rasanya masih tak bisa bernapas dengan lega, setidaknya kami hanya tinggal mencari dua orang lagi.

"Terkunci" ujar Lydya sambil memegangi gembok besar yang tergantung di pintu penjara itu.

"Kalian ini benar-benar ya" ujarnya melangkah mendekati gembok itu.

Sesuatu seperti bobby-pin diambilnya dari saku celana. "Jelas terkunci, kalau tidak gadis itu pasti sudah kabur"

"Kau bisa membukanya dengan penjepit rambut itu?" tanyaku tak percaya.

"Sangat mudah" ujarnya.

Aku hanya tak habis pikir, bertahun-tahun aku tinggal di kostannya, banyak sekali hal yang tak aku tahu tentang Bu Nino.

Cklek...

"Luar biasa!" ujarku.

Gembok itu benar-benar terbuka. Bahkan hanya dalam hitungan detik. Lydya menghambur ke dalam. Aku mengikutinya, takut kalau ada orang lain yang bersembunyi di sisi gelap penjara ini.

Kami bergegas ke arah Lilia. Tangannya terikat tali.

"Tunggu dulu" ucapku cepat. Lydya menatap heran padaku.

"Kenapa?" tanya Lydya.

"Bukankah simpulnya terlalu sederhana" ujarku menunjuk pada simpul di tangan Lilia.

Aku memutar pandang pada Bu Nino yang baru hendak masuk ke dalam. "Kita dijebak" ujarku.

Kreeettt... Boooomm...

Bahkan tanpa sempat bergerak satu mili pun, sebuah kotak seperti jeruji besi jatuh dari langit-langit, tepat di posisi berdiri aku dan Lydya. Seperti perangkap hewan, kami berdua benar-benar tak bisa keluar.

Bu Nino berlari ke arah kami.

"Bagaimana ini?" tanyanya.

"Bu, selamatkan lilia lebih dulu" ujarku. "Cari bantuan!!!"

"Iya... aku harus cari....Hahahahahhaa" tiba-tiba saja suara khawatirnya hilang, berubah menjadi tawa yang teramat panjang.

"Aku harus cari bantuan" ujarnya lagi, tapi dengan cara pengucapan yang menjengkelkan. "Selamat datang di istanaku!" ujarnya di tengah tawa puasnya.

"Kau? Kau Indira?" tanyaku menatapnya dengan kesal. Satu kali lagi kami berhasil ditipunya.

"wah, ketahuan" ujarnya sambil tertawa puas.

Lydya tak lagi bisa bicara apa-apa, ia hanya terduduk di sebelahku. Sedangkan perempuan di hadapanku itu mulai menarik sesuatu dari belakang lehernya. Sesuatu yang menyerupai kulit.

Topeng?

Sekejap ia melepaskan topeng kepala itu. Seringai di balik topeng itu jauh lebih menyeramkan. Mungkin ia benar-benar puas berhasil mengelabui kami hingga di sini.

"Padahal aku sudah sering memakai topeng ini, tapi kenapa rasanya tetap tak nyaman" ujarnya mengeluh sambil menyeka keringat di wajahnya.

"Siapkan mereka" ujar Indira ke Lilia.

Lilia mengangguk. Sesaat, gadis itu juga melakukan hal yang sama dengan Indira, melepas topengnya. Seseorang di balik topeng itu benar-benar tak ku kenal. Ia bukan Lilia.

"Tamatlah kita!" ujarku.

Lydya yang ketakutan hanya bisa berkata maaf. Dari awal aku memang sudah yakin ada yang tak beres, tapi tidak sampai sejauh ini. Kami benar-benar kehabisan amunisi. Mungkin Lydya dan yang lainnya sudah tewas di tangan orang gila itu. Dan kami hanya menunggu waktu.

*** 

THE STITCHES (Sibling 2nd season)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang