CHAPTER 1 Anggota baru

1.3K 245 51
                                    

Teman-teman yang baik, ayo tinggalkan jejak kalian dengan tekan bintang dan beri komentar🙃

Warning!! Typo atau penulisan yang salah.😁

😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

      Seorang gadis duduk dengan raut tidak tenang, itu tampak di wajah putihnya yang kian memucat disertai peluh sebesar biji jagung menetes pelan didahinya. Dalam 17 tahun hidupnya, tidak pernah ia merasa segugup dan secanggung ini--benar, ini adalah kali pertamanya ia di hadapkan pada suasana seperti ini dan di situasi yang bahkan tidak pernah terbayangkan, seperti sekarang.

       Menghela nafas panjang dan berat, gadis itu mendongak menatap ke tujuh orang di seberang mejanya. Tampak wajah-wajah baru dengan ragam ekspresi balas menatapnya.

       Di depannya, seorang pria berwajah cukup sangar dengan brewok yang tumbuh disepanjang garis rahangnya yang tegas, terlihat menakutkan didampingi tatapan mengintimidasi yang nyata membuat nyalinya seakan ciut. Padahal jika menilik dari kehidupan gadis itu, ia adalah gadis cerewet pula pemberontak.

        Karena situasi yang berbeda, ia merasa khawatir, lantas memutuskan untuk tidak menunjukkan taring andalannya, apalagi di hadapan keluarga ini.

        Mungkin nanti.

       Tidak bisa dipungkiri, gadis itu harus mengakui jika pria baya seumuran pak Jonh--guru matematika berusia 50-an di sekolahnya--tidak dapat menutupi ketampanannya di masa muda bahkan jika usianya telah merambat setengah abad. Pengakuan yang sama pun patut diberikan kepada ketiga laki-laki lain di samping kiri-kanannya, yang duduk menempati kursi pada meja persegi panjang mewah di hadapannya.

      Mereka semua tampak seperti aktor-aktor opera yang ia sukai dilayar kaca.

       Bola matanya yang besar sedikit melirik pada dua wanita lain di seberang meja sebelah kiri, berdampingan dengan dua laki-laki dewasa awal 30-an yang menatap cukup ramah padanya, jika harus dibandingkan dengan tatapan Si Tua Brewok yang mengerikan. Lalu dari arah kanan searah dengan tiga kursi kosong, tatapan membakar dari satu-satunya orang yang duduk di barisan tersebut membuatnya bergidik sampai ketulang-tulang.

      Lalu sebagai pengalihan akan kegugupannya, ia memilih memasang senyum terbaik yang justru terlihat bodoh.

15 menit pun berlalu!

.

.

.

Dan suasananya terlalu hening, pikirnya.

       Cengiran khasnya tiba-tiba muncul di sela giginya yang ginsul, seakan mencoba mencairkan suasana makan malam di mansion Adiptara, yang beberapa saat lalu seolah berada di alam lain saking heningnya. Sepersekian detik kemudian, tatapan gadis remaja itu berubah waspada ketika maniknya menemukan pergerakan pasti dibibir pria baya Brewok tersebut. Seolah, bibir tipisnya akan mengeluarkan bom nuklir yang dapat membunuh gadis itu kapan saja.

Adiptara Family's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang