3. Malam yang Panjang ⭐

450 189 72
                                    

"Waktu itu sangat berharga, bahkan 5 menit pun."

⭐⭐⭐

Mereka tiba di RS dengan kondisi yang aman terkendali tanpa wartawan. Michele telah meminta pihak rumah sakit dan kepolisian untuk tidak menyebar berita ini terlebih dahulu. Kehidupan kekeluargaan Sin memang tak banyak diekspos ke pihak media.

"Dok, bagaimana kondisi orang yang ada didalam kamar? Saya anaknya," tanya Sin setelah dia sampai di kamar RS dengan cemas.

"Mohon maaf, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Saat beliau diantarkan ke sini, kepalanya sudah bocor dan kehabisan darah. Badan beliau juga berbau alkohol dan setelah saya periksa beliau mengonsumsi banyak alkohol. Beliau mabok-mabokan sambil mengendarai mobil sehingga terjadi kecelakaan." Dokter membenarkan kacamatanya sejenak dan menarik nafas yang dalam, karena kata-kata selanjutnya akan menyakiti hati keluarga pasien.

"Kepalanya menabrak benda yang keras sehingga kehabisan darah, seharusnya dengan kondisi seperti ini beliau sudah tidak dapat bertahan hidup dari sejam yang lalu. Tapi, ternyata beliau masih berusaha untuk bernafas, sepertinya sedang menunggu keluarganya dan baru saja 5 menit yang lalu beliau menghembuskan nafas terakhirnya. Kita dari tadi juga minta bantuan polisi untuk menghubungi keluarga pasien, kenapa baru datang ... kan jadi nggak keburu ...." jawab dokter. Dia menghela napas kemudian berjalan pergi meninggalkan Sin yang berlutut di depan kamar RS. Air matanya bercucuran, ia menangis tanpa bersuara.

Pia segera datang dan memeluknya.

Michele dan Marvel berdiri di belakang mereka.
Sekilas Marvel menangkap senyum licik terpampang di muka Michele. Marvel mengucek matanya dan senyum itu sudah berubah dengan ekspresi sedih, Michele mendekati Sin.

"Sin ... ayuk kita lihat paman," bisik Michele. Sin pun mengangguk lemas dan masuk ke dalam kamar.

"Papa ...," panggil Sin lirih, dia membuka selimut yang menutupi kepala papanya, Tono. Kepalanya diperban dan luarannya ada banyak darah.

"Marvel ...." Pia menutup matanya setelah melihat kondisi Tono yang tragis. Pia fobia darah, jadi bersembunyi di belakang punggung Marvel. Marvel mengabaikan Pia, kemudian berjalan ke sebelah Sin.

"Gue tau pasti ada banyak hal yang mau lo obrolin ke papa lo, just use your time. Kita orang di depan kamar, kapan pun lo butuh kita, teriak aja. Kita ada di depan." Kemudian Marvel memberi isyarat ke Pia dan Michele untuk meninggalkan ruangan kamar yang tersisa Sin dan papanya.

"Pa, Sin datang. Maaf Sin telat, Sin habis syuting," kata Sin sambil memegang tangan dingin Tono.

"Tahu gak, Pa ... tiap habis terima fee dari syuting, Sin selalu sisihkan uangnya. Sin nungguin papa balik, uang itu terserah papa mau main judi atau buat bisnis. Uangnya udah ke kumpul banyak kok pa dalam 1 bulan ini."

"Pa ... papa pasti senang ya akhirnya Sin mau kasih uang lagi buat papa judi. Makanya ayo bangun dong, Pa. Terserah papa mau marah mau teriak mau pukul. Ayooooo pa ...." Sin menggoyangkan badan Tono, namun tidak ada respon sama sekali.

"Please ...," kata Sin pelan. Air matanya kembali berlinang.

"Dulu pas kecil, kita sekeluarga selalu jalan-jalan ke luar negeri tiap akhir tahun pakai uang papa. Kali ini Sin juga udah siapin uangnya kok pa buat kita pergi akhir tahun ini. Ayo pa katanya mau ke China lihat panda."

"Pa, walau terakhir ketemu kita bertengkar, papa bilang Sin anak pungut, tapi Sin tau kok kalau papa nggak bermaksud. Aku selama ini udah anggap papa itu ayah kandungku. Jadi, tolonglah, Pa. Jangan tidur aja."

The Star of HollywoodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang