12: Good. Ternyata lo memang tipe gue.

721 119 20
                                    

Di lorong supermarket, tepatnya di antara rak kopi dan teh, Vio dan Pandu berdiri berhadapan. Troli belanja yang nyaris penuh memisahkan mereka. Pandu masih menunggu jawaban Vio. Dia sendiri tidak menyangka akan menyuarakan isi hatinya terang-terangan seperti itu.

Pandu menyadari, mereka terlalu sering menghabiskan waktu bersama. Lambat laun, akan ada orang yang salah paham. Pandu sendiri tidak berharap apa-apa dengan hubungan mereka. Seperti yang dia katakan kepada Ale, dia tidak memiliki niat khusus mendekati Vio. Mereka hanya berteman, dan Pandu ingin selamanya begitu.

Kehadiran Vio tidak hanya membawa perubahan dalam hidup Yudhis, tetapi juga dalam hidup Pandu. Malah, mungkin Pandu-lah yang paling terdampak. Sejak bercerai, dia sangat berhati-hati menjalin hubungan karena tidak ingin mengulangi kesalahannya dulu. Pandu tidak ingin Yudhis tersisih.

Vio berbeda. Kehadiran gadis itu justru membantu Pandu memahami Yudhis. Dia bukanlah pria yang peka, terkadang dia kesulitan menerjemahkan apa yang Yudhis mau dan inginkan. Lima minggu terakhir, Vio banyak membantunya. Ketika rutinitas mereka tiba-tiba terjeda, jujur saja Pandu merasa ada yang hilang dari kesehariannya.

"Aku nggak pingin terlalu sering ngerepotin Mas Pandu."

"Vio, saya sama sekali nggak pernah ngerasa direpotin." Sinar mata Pandu meredup. "Atau ... kamu nggak nyaman dengan status saya, ya? Apa gara-gara saya nganterin kamu setiap hari, kamu jadi digosipin sama teman-te–"

"Bukan gitu, Mas." Vio menyela. "Aku cuma ngerasa terlalu manfaatin kebaikan Mas Pandu. Awalnya, kan, Mas Pandu nganterin aku ke kantor karena waktu itu kakiku keseleo. Terus aku jadi nggak tahu diri terus-terusan nebeng sama Mas Pandu."

"Saya sama sekali nggak ngerasa dimanfaatin, Vio. Malah mungkin, saya yang manfaatin kamu. Saya manfaatin kamu buat jadi teman Yudhis. Sampai sekarang saya masih bingung gimana caranya jadi orang tua yang baik, gimana supaya saya bisa sepenuhnya hadir buat Yudhis. Saya banyak belajar dari kamu, Vio. Kamu lebih memahami Yudhis daripada saya."

Melihat tatap mata Pandu yang begitu sedih, hati Vio berderak. Gadis itu tahu, mereka sama-sama pengecut karena menjadikan Yudhis sebagai alasan. Hubungan serapuh itu tidak akan bertahan selamanya. Vio sadar, kelak jika Yudhis telah dewasa dan tidak lagi membutuhkannya, Pandu juga akan meninggalkannya. Namun, untuk saat ini, Vio ingin menunda hal itu selama yang dia bisa.

"Aku nggak akan menghindari Mas Pandu lagi." Vio meletakkan tangannya di pegangan troli dan mulai mendorong. "Mas Pandu mau belanja apa lagi?"

Di balik masker, kedua sudut bibir Pandu tertarik ke atas. Bahkan matanya pun ikut tersenyum. "Saya sepertinya sudah nggak cari apa-apa lagi. Kamu butuh apa?"

"Pasta gigi."

Pandu turut mendorong troli di sisi Vio. "Nggak usah beli pasta gigi. Saya punya banyak stok di rumah."

Vio tertawa pelan. "Mas Pandu lulusan S5 marketing, ya? Halus banget nawarinnya. Memangnya Mas dapat komisi berapa kalau berhasil dapat pelanggan baru?" godanya.

"Ini buat kepentingan pribadi. Biar kalau kamu sikat gigi tiap pagi, kamu nggak lupa sama janji kamu buat nggak akan ngehindarin saya lagi."

* * *

"Maharani ini makan apaan, sih, tiap hari? Bisa cakep begitu," celetuk Tasya yang duduk di sebelah Vio.

Mereka sedang menikmati makan siang di warung nasi padang yang terletak di basemen gedung kantor mereka. Televisi yang bertengger di rak dinding sedang menayangkan acara infotainment, acara kesukaan Tasya. Berita apa pun tentang orang-orang terkenal akan selalu menarik perhatian wanita itu.

Televisi tua itu sedang menayangkan liputan tentang Maharani yang baru saja kembali dari New York. Vio memang sempat mendengar dari Pandu bahwa ibu Yudhis itu akan segera pulang ke Indonesia. Selama libur sekolah, Yudhis akan menginap di rumah ibunya.

Let Me Love You, Violet. (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang