Twenty nine

70 17 7
                                    

Ketika mencintai seseorang, aku tidak memberi syarat bahwa rasa itu harus benar-benar berbalas. 
___
__
_

Hari itu, sang surya telah menenggelamkan diri. Sosok lelaki dengan balutan di kepala nampak tergesa-gesa menuju apartemen. Leon, ia benar-benar ingin mengambil keputusan itu. Meski dalam perasaan sedih dan penuh keraguan, ia mengambil beberapa pasang pakaian dari lemarinya. Selembar foto yang terpampang wajahnya bersama Juni pun ikut menempati bagian kecil pada ranselnya. Sempat menghela nafas panjang tatkala ia memandang kotak biru yang berisi cincin tunangan. Ia merasa cincin itu hanya simbol semata, tak ada yang berubah setelah tiga bulan bersamanya. Namun cincin itu masih melingkar di jari manis gadis itu.
.
.
.

Juni masih berada di ruang rawat. Pengaruh obat tidur yang mulai hilang itu pun membuatnya terbangun.

"Leon?" Juni tampak bingung melihat bed di hadapannya kosong.

Melihat pintu toilet dalam keadaan tertutup membuatnya berpikir bahwa mungkin lelaki itu ada di dalam.

Mulai jenuh karena terlalu lama, ia bahkan mulai curiga ketika melihat infus set telah berada di tempat sampah.

Suster Heejin telah memperkirakan waktu Juni akan siuman. Ia mengetuk pintu kemudian menyapa Juni.
"Anda sudah bangun. Apakah anda baik-baik saja?" Tanya suster Heejin seolah tak tau apa-apa.

Namun Juni mengabaikan pertanyaan itu dan menanyakan Leon.
"Kemana Leon?"

Suster Heejin merasa bahwa Juni tidak menyadari siasat yang dibuat oleh tunangannya itu. Bahkan Juni juga tidak sadar akan kalung yang telah menghiasi lehernya.

"Maafkan aku... tapi apakah Anda sudah menyadari itu?" Menunjuk ke arah kalung yang dikenakan Juni.

Benar saja, Juni baru menyadarinya. Suster Heejin pun menjelaskan semuanya, hal itu sontak membuat Juni menangis. Ia tersungkur sambil memegang buah kalungnya.
"Kenapa seperti ini?..."
"Aku sudah cukup tersiksa dengan semua ini," keluhnya.

Suster Heejin mencoba mendekati Juni dan mencoba menenangkannya. Ia juga merasa bersalah karena telah menuruti keinginan Leon untuk mengelabui Juni saat itu.
"Maafkan saya," ucap suster Heejin.

Juni lantas menjauh dari Suster Heejin, wajah kecewa dan kesal terlihat jelas di wajahnya.
"Kenapa Anda melakukan ini?" Tanya Juni dengan nada tinggi.

Suster Heejin menunduk seraya menjawab dengan penuh penyesalan. Ia menjelaskan bahwa ia juga terpaksa melakukannya. Juni hanya memandanginya dengan tatapan penuh amarah. Ia memilih pergi tanpa sepatah kata apa pun.

"Tunggu!" Sahut suster Heejin sambil merogoh sakunya.

"Ada apa lagi?"

"Ini..." Memberikan selembar kertas kecil yang terlihat kusut.
"Saya temukan itu di tong sampah sebelum Leon pergi."

Juni pun menerima lalu membacanya. Tak lama, ia mencengkeram surat itu dengan matanya yang memerah.

"Anda baik-baik saja?"

"Em, aku baik-baik saja, terima kasih."

Dengan langkah kecil Juni pergi dengan tatapan kosong. Ia tak menyangka Leon akan melakukan hal itu.
"Pasti dia sudah benar-benar meninggalkan aku." Juni hanya bisa mengira-ngira. Apa yang bisa dilakukannya? Ia masih harus menunggu bus terlebih dahulu, sedang Leon telah berkemas. Juni sangat mengenal Leon. Lelaki itu akan melakukan hal yang ia rencanakan tanpa memikirkan hal dapat terjadi kedepannya.

Mobil sport berwarna hitam terlihat menepi di tempat Juni berdiri. Ia melangkah mundur saat pengendara itu terlihat membuka pintu mobilnya.

I'm sorry [Complete ✓️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang