|| 9: Ilyas's pov | 2513 words ||
Desember lalu, genap 4 tahun aku dan Emma tak pernah menginjak tanah.
Tiap pagi, aku membawa Emma ke balkon untuk menikmati cahaya matahari selama 30 menit. Di hari-hari tertentu, udara terasa segar karena kendaraan bermotor hampir tak pernah digunakan lagi kecuali oleh kurir dan Polisi Nusa.
Pada hari-hari lain, akan tercium bau bangkai manusia, yang artinya ada satu atau dua orang lagi yang terinfeksi di wilayah kami. Bau bangkai itu biasanya bertahan seharian sebelum ditangani Polisi Nusa. Mereka mememusnahkan korban terinfeksi dan mengamankan rumahnya dengan garis polisi. Kudengar dari pria sebelah minggu lalu, sudah 7 dari 30 rumah yang diamankan di kompleks kami.
Keesokannya, rumah pria itu pun dipasangi garis polisi. Sekarang, aku tak tahu lagi perkembangan kondisi kompleks ini. Pria itu satu-satunya sumber informasiku.
Tidak jarang ada satu atau dua zombie yang luput dari pengawasan Polisi Nusa. Tiga hari belakangan saja, aku sudah melihat lima zombie berkeliaran di jalan depan rumah, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanya muntah.
Emma lebih kuat dariku. Tidak ada rasa takut di matanya saat melihat zombie.
Satu kali saat menjemur pakaian sambil menjaga Emma di jam berjemurnya, aku tersentak karena satu zombie berdiri di jalan dan mendongak ke arah kami. Matanya menonjol seperti ikan yang sudah mati dan robekan bibirnya besar sekali, jadi makhluk itu mangap permanen.
Emma, duduk di kursi tingginya di balkon, menatapku keheranan. Tangannya memencet-mencet mainannya. Matanya seperti berkata, Kau takut sama itu?
Adikku kemudian melemparkan mainan bebek karetnya ke bawah seperti berusaha mengusir si zombie, tetapi tentu saja tidak mempan. Mayat berjalan itu baru dibereskan saat seorang personel PN datang lima menit kemudian. Sedangkan Emma menangis karena kehilangan mainan bebeknya.
Emma begitu kecil. Umurnya sudah menginjak angka 4, tetapi secara fisik dia hanya sebesar balita yang setengah dari umurnya. Adikku belum bisa berjalan dan untuk berdiri pun masih berpegangan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya masih tidak begitu jelas. Paling banter, dia hanya memanggil namaku, "Iyassss" dengan banyak semburan di ujung.
Lahir prematur, kurang gizi, terkurung selama 4 tahun, tumbuh tanpa orang tua, dan hanya melihat wajahku atau Nenek Aya tiap hari—sebuah keajaiban Emma masih bisa tumbuh walau luar biasa lambat.
Satu kali, saat aku berulang tahun yang ke-13, aku menatap Emma yang tidak mau berhenti menangis. Aku mengambil pisau yang baru saja kugunakan untuk mengiris bawang, lantas mengarahkannya ke leherku sendiri.
Lalu, Emma merangkak ke arahku. Tangannya memeluk kakiku. Kulemparkan pisau itu ke wastafel, dan kami menangis berdua.
Dengan tubuhnya yang hanya sedikit lebih besar dari anak 2 tahun, Emma merangkak ugal-ugalan. Kepalanya masih sering membentur benda-benda, arah merangkaknya tidak bisa diprediksi seperti mobil balap yang kehilangan salah satu rodanya, tetapi cengkramannya kuat sekali—kurasa, itulah adilnya dari kaki-kakinya yang tidak terlalu kuat. Tidak sekali dua kali aku mendapati Emma sedang bergelantungan di terali jendela. Maka, aku tidak bisa mengalihkan mata darinya barang sedetik pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapade 1: A Lone Wayfarer
Mystery / ThrillerSudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik kecilnya, dan Cal, seorang teman lama, untuk menyelamatkan diri mereka di tengah kiamat zombie. Namun, sepanjang jalan, sesosok zombie bernam...