CHAPTER 2 Mulut Cabai

539 164 30
                                    

   

   

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

       "Aku. Tidak. Mau."

        Ramlan memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, mendengar Rendi terus menolak keputusannya. Sungguh, anak bungsunya itu sangat pembangkang, belum lagi ia harus dihadapkan dengan seorang menantu labil tidak kalah menyebalkan.

        "Kamu pikir aku mau satu sekolah dengan mu? Tidak." Ketus Anya sembari bersedekap dikursinya. Menatap Rendi dengan marah.

        Ramlan membuang nafas kasar. Sudah dua minggu sejak Anya bergabung di keluarganya dan gadis itu bahkan tidak sekalipun tampak menghormatinya. Apakah ia terlalu lunak pada anak dan menantunya? Entahlah, ia hanya membutuhkan Rayland sekarang; untuk membantunya mengatur kedua bocah tersebut.

       Rayland sendiri sedang dalam perjalanan bisnis dan baru akan pulang besok bersama anak pertama serta menantu terbaiknya, Tania. Sedang anak keduanya berkunjung ke Inggris tentu ditemani istrinya--Ui Anh.

       Ia lelah. Sungguh.

       "Dengan alasan apa kamu menolak, Rendi?" Ramlan menatap anak bungsunya dengan mata sayu. Bibirnya menipis menahan gejolak kata-katanya. Dia harus sabar, pikirnya.

       Pemuda 16 tahun itu menoleh, balik menatap ayahnya dengan kesal, "tentu saja, sudah cukup aku melihat wajah jeleknya di rumah, aku tida__,"

      "Siapa yang kamu sebut jelek?"

      Semua orang di meja makan menoleh termasuk Anya, setelah mendengar suara bariton terucap dengan dingin dari mulut Rayland yang baru saja memasuki ruang makan dengan pakaian formalnya, menyusul Antonio di belakangnya.

       Pria tampan berusia 25 tahun itu menatap Rendi dengan datar, lalu beralih pada seorang gadis yang tidak lain adalah Anya sendiri, dengan pandangan sama datarnya.

      "Kak Ray? Kamu sudah pulang? Kupikir kamu akan pulang besok bersama Kak Ryan dan Kak Tania?"

       Rendi bertanya keheranan. Tetapi, Rayland justru memasang tampang keruh setelah mendengar pertanyaan tersebut. Membuat suasana meja makan yang hanya berisi Ramlan, Rendi, dan Anya, menjadi sedingin es setelah menyadari suasana hati Rayland yang mengerikan, sedang memburuk.

       "Apa itu adalah jawaban dari pertanyaanku sebelumnya?" Rayland menekan kalimatnya sembari manik gelapnya menyorot sosok Rendi.

       Sontak, Rendi menelan ludah. Ramlan bahkan sudah membuang nafas perlahan. Sementara Anya, jangan tanya sebab gadis bodoh itu ketakutan.

       Setelah hidup bersama selama satu minggu--satu minggu lainnya tidak terhitung sebab Rayland berada di luar kota--Anya sudah cukup tahu bagaimana karakter suaminya ketika sedang marah. Sangat mengerikan.

Adiptara Family's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang