03 — by reason of — yuk, lupain masa lalu.
Kesedihan menindas. Menjajah masa-masa terbentang kenangan indah malah menciptakan memori buruk. Lebih buruk daripada mendapat jerawat saat esok ada acara penting. Memori itu selalu ada bersemayam di kepalanya, dan Langit tidak suka.
Kalau dipikir-pikir tiada juga manusia yang menyukai kenangan kelam.
Padahal ketika menyusun rencana. Semesta ikut mendorongnya terlampau jauh pada harapan tinggi. Mengabulkan beberapa keinginan.
Sehingga tidak salah jika manusia selalu berharap. Meski ujung-ujungnya dijatuhkan oleh kegagalan. Namun Langit terkadang tahu diri, jika ia hanya manusia selalu berserah ketika rasa menyanjung harap terlalu banyak.
Ngomong-ngomong, Langit sekarang sedang memberitahu perjalanan kaburnya dengan alibi berkelana, sebelum berakhir di kampung halamannya sekarang. Ia sempat ber-nomaden dari Bandung, Cilacap, hingga ke kota pelajar. Dan si gadis setia mendengarkan kisah melancongnya, tak merespon apa-apa, tak memotong kalimatnya untuk sekedar memberi rasa haus penasaran dengan pertanyaan mengapa atau kenapa Langit melakukan semua ini.
Langit sengaja berdiam usai memberitahu ia pergi ke mana saja. Matanya awas memperhatikan Darin sudah bangkit dari duduk di kursi kayu yang berada di kamar lama miliknya dan kakaknya dahulu. Kaki itu melangkah melihat kertas-kertas tertempel secara acak di dinding, hasil gambar-gambar Langit sejak berumur enam tahun, ada juga tulisan sajak buatannya. Meski Langit tampak urakan dalam perawakannya, ia juga dapat merangkai kata.
Si gadis menangkap kertas berwarna bronze begitu mencolok dari kertas-kertas lain. Langit sudah tahu tulisan apa yang tertulis di sana. Tujuh tahun silam ia menulisnya.
"Nothin' without you. Always be mine." Darin bersuara. "Ditulis di kertas besar tapi hanya sebaris kalimat. Ini kamu lagi nulis buat apa?"
"Iseng dulu. Waktu pulang ke sini buat tahun baruan, gua video call sama mantan, sambil nulis itu."
Langit menghampiri. Mencabut kertas lapuk yang warnanya sudah menguning kemudian merobeknya tanpa rasa.
Setelah membelah kertas ini, Langit membuka jendela lebar-lebar langsung meninggalkan jejak membuangnya melalui jendela. Langit tahu buanglah sampah pada tempatnya. Tetapi tak ada tempat untuk membuang kenangan jadi ia meninggalkan kenangan sembarangan. Usai melakukan adegan yang tidak patut ditiru, Langit mengajak Darin kembali ke lantai dasar menuju dapur.
"Kala, are you okay? Mau cerita?"
Langit menggeleng sambil mengambil minuman di lemari pendingin. Betapa bodohnya ia mengajak orang bertamu tetapi tidak diberi apa pun, malah dijamu kisah pilunya.
"Kalau yang ini ngga bisa cerita."
°°°
Sebagai lelaki Langit paham ia terkadang tak pandai memegang ucapan. Sebab tidak berselang lama belum ada satu jam, ia sudah sibuk menceritakan keluh kesahnya karena masih terbayang mimpi buruk dalam hidupnya satu tahun ini.
Langit pun sudah membeli ayam cepat saji yang ia order secara delivery untuk Darin, sebab tidak ada apa-apa yang dapat Langit sajikan kepada tamunya.
"Jadi gitu, Dar. Gua ditinggalin tanpa alasan." Langit mengusap kasar wajah, berusaha kuat tapi ia sedang butuh teman menampung segala gelisahnya. Tetapi sisi lainnya enggan terlihat lemah di depan perempuan. Berpura-pura tegar seperti Rossa walau hatinya masih merasa hancur.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Satu Minggu Jakarta
Teen FictionRomansa metropolitan// Langit tidak selalu menampakan cerahnya, terkadang langit memunculkan awan mendung menemani manusia penuh harap. Seperti Langit Sangkala, ia menunjukan kalau laki-laki tidak selalu kuat, sebagai laki-laki juga bisa rapuh, juga...