Dua puluh empat

1.4K 143 3
                                    

Hati Bian hancur ketika lagi-lagi, dia melihat Nay di sana bersama pria yang mungkin akan menjadi masa depan pujaannya. Menyapa dan menghampiri jelita yang Bian rindukan setengah mati. Jelita yang selalu ingin ia pergi.

'Apa benar-benar tak ada tempat di hatimu untukku Nay?'

'Tidak tahukah kau betapa hatiku hancur melihat nasib rumah tangga kita, sedang di sana, kau melanjutkan hidupmu. Dan mungkin dengan bahagia.'

"Jalan, pak!"

'Cukuplah sedikit aku melihatmu Nay. Itupun sudah memberiku kekuatan tuk menjalani hidupku yang tak berarti tanpamu.'

*

"Assalamu'alaikum."

Dang.

Bola mata Bian seakan tak percaya dengan apa yang ia tangkap dengan retinanya. Ketika sekretaris mengatakan Nyonya Bramantiyo datang, Bian tidak berharap kalau ternyata, Nyonya mudalah yang ingin menemuinya. Ya. Nayla Ayunanda Putri saat ini ada di hadapan Fabian Chandra. Cantik seperti biasanya.

"Wa'alaikumus salam." Jawab Bian yang lalu menjadi idiot seketika.

Tatapannya tak lepas dari jelita yang membuatnya gila. Bahkan ketika jelita itu meletakkan sebuah map di meja kerjanya, Bian masih seperti idiot yang tak melepaskan pandangannya sedikitpun dari sang jelita.

"Kumohon, ambil kembali semuanya. Aku tidak menginginkan apapun. Aku hanya ingin berpisah baik-baik. Itu saja."

Bian kemudian tersadar dari keidiotannya dan memeriksa map yang diletakkan di mejanya. Rupanya legalitas beberapa properti atas nama Nayla, termasuk perkebunan tempat almarhum ayah Nay bekerja yang diam-diam telah dibeli Bian ketika mereka baru saja menikah. Bian hampir saja lupa, Nay pasti akan mempermasalahkannya.

"Sampai jumpa besok di pengadilan." Ucap Nay yang lantas pergi karena Bian tidak juga merespon ucapannya.

Nay sudah susah payah menguatkan dirinya kemari dan sekarang ia hanya ingin pergi. Setidaknya ia sudah memulangkan apa yang bukan haknya.

BRUK.

Pintu yang baru dibuka Nay tertutup kasar kembali. Nay terkejut dan melihat tangan besar di samping kanannya. Nay membeku. Bian di belakang tubuhnya dan Nay bisa merasakan hembusan nafasnya.

"Jangan keterlaluan Nay. Aku sudah melakukan apapun yang kau mau walaupun itu membunuhku. Setidaknya biarkan aku sedikit tenang dengan memastikan kau tidak kekurangan apapun."

Nay dengan takut berbalik dengan langkah memutar yang terpatah-patah. Dia bisa merasakan jantungnya berpacu ketika maniknya bertemu dengan manik mata Bian. Dilihatnya Bian yang terlihat begitu lelah. Sama lelahnya dengannya.

"Bukan aku yang membuat semuanya jadi begini." Ucap Nay merasa takut dengan tatapan Bian, belum lagi deru nafas Bian yang sampai ke wajahnya.

"Ya, bukan kau. Tapi aku. Semua memang salahku. Kau puas?" Ketus Bian tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Nay yang tertunduk. Mencoba mengontak mata Nay lagi. Mungkin, ada harapan di sana.

"Lepaskan wanita di foto itu. Menuntutnya tidak akan membuat semuanya lebih baik." Ucap Nay dengan menolehkan wajahnya ke samping. Enggan bertatap muka dengan pria yang membuatnya merasa terintimidasi itu.

"Apa kalau aku melepasnya, semua akan jadi lebih baik?"

Nay menatap manik itu lagi. Berusaha berani dengan keberanian yang tak seberapa.

"Apa kau akan kembali padaku?"

"...."

"Apa itu akan menghapus kata-kata yang sudah aku tuduhkan dengan keji padamu?"

"....."

"Hmm? Apa bisa?"

"Mas! Cukup!" Potong Nay yang tak ingin lagi Bian terus menyudutkannya. Nay tak bersalah. Tapi kenapa Bian membuat Nay terlihat seperti orang yang melukai. Naylah yang terluka. Naylah yang terhina di sini. Bukan Bian.

"KAU YANG CUKUP NYONYA BRAMANTIYO! KAU YANG CUKUP! Berhentilah membunuhku perlahan-lahan seperti ini! Aku tidak tahan lagi Nay. Apa kau tahu? Bahkan untuk bernafas pun rasanya sesak. Kau ingin terbebas dari neraka ini kan? Tenang saja. Aku tidak akan datang ke pengadilan jadi prosesnya akan lebih cepat. Sidang kedua, nama Bramantiyo akan hilang selamanya dari dirimu. Itu kan yang kau inginkan? Kau puas sekarang?"

PLAK.

Bian yang mendapat tamparan di wajahnya kalap seketika. Apa maunya si Nay? Bukankah ini yang ia inginkan? Lantas kenapa ia terlihat begitu marah?

Bian yang kalap menarik pinggang Nay dan menubrukkan tubuh ramping itu ke tubuh tegapnya. Dicengkramnya tengkuk Nay dengan erat dan disesapnya kelopak yang selalu menggoda imannya. Toh Bian tidak akan punya hak lagi menyentuh Nay setelah ketuk palu pengadilan. Anggap saja ini hadiah perpisahan untuknya. Ya, anggap ini sebagai penghibur atas luka Bian yang menganga.

Nay meronta, tapi apa yang bisa ia lakukan selain membiarkan Bian merendahkan dirinya seperti ini? Jadi Nay menyerah dan hanya meluruhkan kedua tangannya, membiarkan Bian memuaskan dirinya.

*

Bian baru tersadar dari kekalapannya setelah merasakan asin di bibirnya. Nay menangis. Terkutuklah Bian. Lagi-lagi, dia menjadi seorang monster bagi wanita yang begitu ia inginkan. Pupus sudah harapan Bian. Nay tidak akan pernah memaafkannya setelah ini.

"Sekali bajingan. Kau tetaplah bajingan." Ketus Nay melepaskan kedua tangan Bian ketika cengkramannya terasa mengendur.

Bian tak berkata apa-apa. Dia memang bajingan. Jadi dia hanya mengabaikan kata-kata Nay dan mengeluarkan telepon genggam dari saku jasnya.

Nay yang kesal dengan wajah yang masih memerah tiba-tiba saja terpaku. Dilihatnya Bian masih memakai cincin pernikahan mereka dan Nay pun tersadar, cincin yang ia lepaskan kini bergelantung di leher Bian. Apa Bian selalu membawanya kemana-mana?

Bian tahu apa yang dilihat Nay dan ia tidak peduli.

"Kau mungkin tidak pernah sekalipun menganggapku sebagai seorang suami, tapi bagiku, kau akan selalu menjadi seorang istri. Keluarlah! Supir sudah menunggumu di bawah."

Dan Nay pun pergi dengan air mata. Ia memegang dadanya yang terasa sakit. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Ya. Ini sudah benar.

***

Sidang pertama berjalan lancar tanpa mediasi karena absennya pihak lelaki. Nay terlihat tegar bagai karang didampingi Aini dan Wira.

Wira terlihat begitu bersemangat, lain dengan Nay dan seperti biasa, Aini yang peka menyadari hal itu.

"Jangan keras kepala Nay. Jangan sampai semuanya terlambat. Salah satu di antara kalian harus mengalah jika ingin.." Ucap Aini ketika mereka berada di sebuah restoran keluarga untuk makan siang. Adibah dititipkan di rumah kakek neneknya, sedang Wira sedang pamit ke belakang.

"Mbak, tolong." Potong Nay yang mulai habis kesabaran. Dia benar-benar sudah lelah dengan semua yang harus ia jalani. Selalu saja ada ujian yang melemahkan imannya. Tidak bisakah ia bahagia sesekali?

"Setidaknya biarkan aku makan dengan tenang. Aku hanya ingin makan dan melupakan apa yang baru saja aku lalui. Bolehkah?"

Aini memeluk Nay yang bergetar. Tanda jika lagi-lagi adik angkatnya itu meneteskan air matanya.

Di belakang mereka, Wira terhenti dari langkahnya. Sakit hatinya melihat wanita yang dicintainya hancur seperti itu. Lebih sakit lagi karena ia sadar, bukan lagi dirinya yang bersemayam di hati bidadari itu.

'Jangan bilang kau mencintainya Nay! Aku sudah sejauh ini karenamu.'

JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang