10

34 10 0
                                    

Dulu, tatkala Jimin di depak dari rumah ayahnya dengan sang ibu yang menggenggam kuat-kuat jemarinya, tatkala melihat Taehyung menangisi kepergiannya, tatkala menatap betapa angkuh wajah ayahnya, Jimin sudah bertekad buat mencari adiknya, buat merengkuh kembali tubuh adiknya dan di dekapnya kuat-kuat tanpa ada satupun yang bisa melepaskannya. Sebab, kala itu, Jimin bukan cuma merasa betapa sukarnya dipisahkan dari saudaranya, bukan cuma merasa betapa sakitnya dibuang dan dihina, bukan cuma merasa bagaimana sulitnya jadi miskin dan melarat tanpa harta ayahnya. Tapi, kala itu, Jimin kehilangan segalanya, bukan cuma saudara yang seolah direnggut dari pelukannya, bukan cuma sosok bunda yang sempurna dengan wajah cantik dan jelita, bukan cuma sosok ayah yang diam-diam ia sanjung dan ia puja, melainkan Jimin kehilangan seluruhnya, seluruh yang ia punya, seluruh yang sempat dimimpikannya.

Jimin pikir, setelah pergi dari rumah besar itu, akan mudah baginya buat diam-diam pergi dan menemui adiknya, buat tepati janji yang pernah Jimin ucap padanya. Tapi, tatkala langkah Jimin masuk ke rumah barunya, rumah reyot yang tak lebih besar dari kamar mewahnya, ibu membuatnya berjanji buat tak mencari Taehyung apapun yang terjadi, ibu membuatnya bersumpah buat tak pernah mencarinya, tak berusaha buat menemukannya. Sebab, ayah dan bunda tak lagi menginginkannya, sebab ayah dan bunda sudah tak lagi butuh dirinya. Kalau saja Jimin tahu Taehyung sama menderita dengan dirinya, kalau saja Jimin tahu bahwa Taehyung masih tetap sama menginginkannya, Jimin pasti berusaha buat membujuk ibunya, buat mempersuasi ibunya buat izinkan dia temui Taehyung dan mendekapnya. Sebab, kalau Jimin tahu Taehyung harus susah payah buat mencarinya, kalau Jimin tahu Taehyung mati-matian buat menemukannya, Jimin pasti lari sama kerasnya seperti yang Taehyung lakukan buatnya.

"Jim? Bagaimana?" Jimin tersentak tatkala mendengar suara Taehyung dibalik sambungan teleponnya. Suara Taehyung terdengar gusar, dan Jimin tak tahu cara apa yang harus ia gunakan buat tak tumbuhkan rasa kecewa. "Kau yakin? Maksudku memangnya keluarga Kim mau? Kau tahu kan bagaimana pandangan orang-orang terhadap mereka?" Jimin berbalik bertanya, menambah kegusaran pada Taehyung sebab ia tak sudi buat gusar sendirian. "Satu-satunya yang paling mereka pikirkan cuma Jungkook, Jim. Mereka yang paling menyesal setelah sadar apa yang Jungkook rasakan. Jim, mereka tak pernah betul-betul memikirkan posisi mereka, aku tak bisa salahkan mereka, Jungkook pun tak bisa pula kusalahkan. Satu-satunya jalan buat menemukan Jungkook cuma melaporkan kehilangannya, setelahnya apapun yang akan terjadi biar itu jadi urusan mereka." Mungkin, tak seharusnya Jimin menuruti Jungkook buat bicara pada keluarganya bahwa dia pergi dari rumah Jimin, tanpa satupun kabar atau pesan yang ditinggalkannya. Setelah tahu respons keluarga Kim terhadap Jungkook yang 'menghilang' Jimin jadi menyesali keputusannya.

"Jim, kau bilang Jungkook tidak pulang sejak kemarin, kan? Bagaimana ini, Jim? Kalau ternyata Jungkook pergi karena sudah terlampau muak dengan segalanya? Kau dengar sendiri kan apa yang dia bilang waktu itu? Bagaimana kalau terjadi apa-apa? Aku menyesal berkata terlalu kasar padanya." Ah, kalau sudah begini, Jimin jadi ikut frustrasi. Pilihan yang tersedia buat Jimin cuma akan menghancurkan Jungkook saja, perbedaannya hanyalah cepat atau lambatnya. Dan, Jungkook belum siap buat hancur dan menghancurkan keluarganya. Jimin pun masih butuh waktu buat menjelaskan semua yang di ketahuinya. Maka tatkala Jimin berkata, "bagaimana kalau Jungkook tahu? Kalau dia tahu semua orang mencarinya, dilaporkan polisi segala, aku yakin dia akan lebih keberatan buat kembali dan menyelesaikan semuanya, Tae. Kalau Jungkook pergi lebih jauh lagi bagaimana?" Jimin telah seratus persen berniat buat berperang dengan mereka, telah menetapkan diri sebagai satu-satunya orang yang akan berpihak pada Jungkook mulai detik itu juga.

"Jim, beritahu aku apa yang sebaiknya kulakukan? Tidak ada yang bisa berpikir jernih di sini. Tak ada yang bisa memutuskan solusi. Beritahu aku? Apakah, sekiranya ada kemungkinan Jungkook kembali ke rumahmu?" tanya Taehyung gundah, lebih gundah dari yang seharusnya, dan Jimin merasa bersalah sebab dialah yang jadi penyebabnya. "Tae, bagaimana kalau menunggu sedikit lebih lama lagi? Dua atau tiga hari, sebab aku yakin Jungkook cuma butuh waktu buat tenangkan diri. Jungkook juga tidak bawa ponsel, dan satu-satunya yang dia bawa cuma dompet. Percaya padaku, dia tidak punya uang, kalau lebih lama dari tiga hari dan dia betul-betul berniat buat pergi, dia pasti mengambil uang, setidaknya, jika itu terjadi kita masih bisa mencarinya, ya kan? Sementara, sekarang ini kita tak punya pikiran ke mana sekiranya dia pergi." Jimin pandai berbohong, dan Jimin telah berkata terang-terangan akan hal itu. Jimin tak akan berlagak naif dan berucap bahwa ia tak bisa menipu orang lain, sementara dirinya adalah yang terpandai buat melakukannya. Sebab Jimin terlampau terlatih buat mempraktekkannya.

Jimin menatap jemari-jemarinya—setelah Taehyung memutuskan panggilan setelah sebelumnya berkata akan mempertimbangkan apa yang Jimin sarankan pada mereka— masih gemetar tak keruan dan Jimin jijik sendiri melihatnya. Tatkala Jimin membakar bungkusan tempat bubuk-bubuk itu di tempatkan, bersamaan dengan bungkus yang Jungkook sembunyikan—yang selama ini ada dalam lingkup yang begitu dekat dengan mereka— jantung Jimin rasanya jatuh dari tempat yang seharusnya. Hati Jimin hancur tatkala Jungkook memberikan bungkus itu di atas telapaknya. Menyadari betapa sulitnya Jungkook buat menghadapi apa yang telah menimpanya, Jimin merasa dirinya tak becus buat menjaga orang-orang di sekitarnya, merasa gagal buat jadi orang yang bisa diandalkannya.

"Aku tak bisa sembuhkan sakit di hatimu." Kata Jimin pagi itu. Setelah meninggalkan Jungkook buat singgah sendirian dalam kamar dan memikirkan apa yang telah dirinya lakukan, beserta tangis dan rintihan. Jimin kembali setelah pagi, begitu merasa Jungkook sudah cukup tenang buat diajak bicara dan berdiskusi dengannya. Jimin tak diam saja, omong-omong. Jimin sibuk buat ikut menenggelamkan dirinya pada pemikiran dan penyesalan terhadap apa yang telah Jungkook perbuat pada dirinya sendiri. Jimin sibuk buat cari segala jenis informasi persoalan apa yang akan terjadi pada Jungkook setelah Jimin hancurkan semua barang yang Jungkook punya. Dan Jimin jujur, tak tahu apa yang sebaiknya dia lakukan buat menghadapinya, Jimin takut, dan lebih dari itu Jimin menyadari Jungkook lebih takut dibanding siapapun yang cuma melihat betapa tragis dirinya. "Tapi, aku bisa mendengarmu. Aku bisa kurangi sedikit beban di pundakmu. Maka, katakan padaku, Jungkook. Apa yang kau mau? Apa yang kau ingin lakukan? Harus apa aku supaya kau tak merasa sendirian? Katakan padaku, sebab aku tak bisa membaca pikiranmu. Sebab kau menjauh dan menutup diri dariku."

Jungkook menangis lagi pagi itu, mendekapnya dan berucap maaf berulang kali atas apa yang dia katakan sebelumnya. Jungkook bercerita semuanya, segala yang dirinya rasa—atau setidaknya begitu Jimin menganggapnya. Lantas setelahnya, yang Jimin lakukan cuma balas mendekapnya. Berbisik bahwa ia tak sedikitpun marah atas apa yang telah Jungkook lakukan buat hancurkan dirinya. Bahwa, Jimin menerima, bahwa Jimin berusaha buat menilai Jungkook dari sudut pandangnya. Kemudian, yang Jimin lihat cuma luka, kecewa dan air mata. "Aku menghancurkan segalanya, Jimin. Aku menghancurkan semuanya." Dalam dekapannya, Jungkook hancur berkeping-keping, dan tiap-tiap keping itu hancur lagi menjadi debu.

"Tolong aku, Jimin. Sembunyikan aku."

;

Bear the Brunt (Jungkook)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang