Tiga Puluh Tujuh

3.4K 464 49
                                    

"Haaaahhhh...."

Terhitung sudah tujuh kali helaan berat itu keluar dari mulut Jeil, cowok dengan jaket jeans yang melekat pas di tubuh jangkungnya itu sudah mengeluh pada Lisa dengan raut wajahnya yang sudah memelas sedih. Dan malangnya, Jeil hanya mendapatkan delikan serta sindiran dari Lisa. Siapa juga yang menyuruhnya untuk menawarkan diri tadi siang?

"Resiko tanggung sendiri," seperti itulah salah satu kalimat yang dilontarkan cewek yang masih sibuk memilih baju di salah satu toko terkenal dengan brand mewah tercetak jelas di plang besar yang terpasang di Bagian depan toko. Membuat siapapun akan tau kalau manusia yang masuk ke dalam sana pastilah termasuk ke dalam kaum yang tidak terlalu peduli dengan uang.

Kembali ke Jeil, cowok masih dengan sabar--walaupun malas-- menyeret kakinya mengekori Lisa yang matanya sudah kelayapan ke sana kemari.

Bersyukur Tuhan memberikan tingkat kesabaran tertinggi untuk Jeil. Cowok tampan itu sudah beberapa kali keluar masuk berbagai macam tempat. Salon, karena Lisa ingin mengubah gaya rambut dan warnanya juga sekalian, padahal Jeil lebih suka dengan warna rambut Lisa yang hitam legam seperti beberapa jam yang lalu. Setelah itu dia dengan sabar juga menunggu cewek itu berbelanja kosmetik dengan berbagai jenis dan merk yang Jeil tak tau apa namanya. Tidak sampai di situ, cewek itu masih dengan bersemangat menyeret paksa Jeil untuk menemaninya ke toko tas, perhiasan, dan sekarang berada di toko baju dan sepatu juga. Padahal berdasarkan pengalamannya barusan, cewek bernama Lalisa Manoban itu pasti akan menghabiskan setidaknya satu jam di setiap toko. Dan ia harus menunggu lagi? Oh, tidak.

Mom!! Aku mau pulang!!! Teriaknya dalam hati.

Ditengah batinnya yang masih merengek minta pulang, satu seruan dari Lisa membuat cowok itu lagi-lagi menyeret kakinya yang sudah berat itu. Bahkan sempat Jeil ingin menanyakan kenapa cewek itu staminanya begitu kuat sekali saat seperti ini? Atau mungkin semua wanita juga sama, tak akan merasa lelah jika sedang berbelanja. Entahlah, akan ia tanyakan pada mamanya nanti.

"Bagus yang mana?"

Jeil hanya asal tunjuk pada salah satu sepatu yang Lisa gantungkan di kedua tangan mungilnya, ia lelah, sungguh.

Merasa tak puas, Lisa kembali membawa dua pasang sepatu yang lain, lalu menanyakan kembali hal yang sama. Dan Jeil pun melakukan hal yang sama lagi, menunjuk asal apapun yang ada di depannya.

Setelah cukup lama Lisa berbelanja di sana, Jeil melirik jam di pergelangan tangannya.

Pukul 22.40

Padahal shooting sudah selesai dari jam 19.00, karena memang jadwal pemotretannya mengalami perubahan. Mereka mulai dari pukul 17.00 sore tadi, dan hanya memakan waktu selama dua jam. Tapi sekarang, di jam segini pun ia masih berada di tempat umum, lengkap dengan puluhan paper bag dari berbagai merk yang terkait dengan apik di tangannya.

Lisa tampak sibuk sendiri dengan ponselnya, setelah terdengar notifikasi, ia langsung menyeret Jeil tanpa kata. Tak peduli dengan segala racauan yang keluar dari mulut cowok itu saat dirinya kewalahan menyamai langkah cepat Lisa.

Cukup lima menit mereka berlari, dan sekarang Lisa sudah berhenti. Tangan mungilnya bergerak menscroll layar ponselnya, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Setelah yakin, ia kembali menyeret Jeil yang bahkan masih terengah-engah di belakang sana.

Lisa bergegas memasuki salah satu restoran mewah yang berdiri kokoh dengan mewah namun tetap tak menghilangkan kesan klasik bergaya Eropa di sana.

Sebelumnya, Lisa menyuruh Jeil untuk menyimpan semua belanjaan miliknya itu di meja depan. Lisa bilang kalau kurir akan membawanya sebentar lagi, dan pegawai di sana tak keberatan dengan hal itu. Mereka hanya mengangguk mengerti seraya langsung menuntun kedua remaja itu untuk menempati meja yang telah mereka siapkan.

Lili Closet Film ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang