Buku 7; frasa rumpang

147 16 2
                                    

Kembali lagi dengan sang pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kembali lagi dengan sang pagi. Cahaya matahari perlahan mulai menerpa dinginnya bumi sejak malam hari. Hari senin telah tiba.

Saatnya untuk menimbah ilmu di negeri pelajar ini. Seragam beserta buku sudah rapi dan lengkap, kali ini, aku tinggal menunggu seseorang untuk menjemputku.

Deru suara vespa milik Jaka terdengar sampai ruang tamu. Lekas aku berdiri dan pamit kepada sang bunda dan ayah. Mencium harsa mereka dengan ikhlas serta berharap doa dari mereka berdua. "Tangan bunda wangi, pake handbody ya? Biasanya kalo pagi begini bau minyak." Sempat-sempatnya aku bergurau dengan bunda.

Yang di ajak bergurau malah ketawa-ketiwi. Sedangkan ayah? dia pergi ke dapur untuk mencari temannya. Siapa lagi kalo bukan kopi hitam sebelum berangkat kerja.

Dari depan, suara klakson Jaka berbunyi. Anak itu memang tidak sabaran, tampang nya saja yang sabar.

Aku bergegas keluar kerumah lalu menghampiri Jaka yang sedari tadi menunggu ku. "Maaf Jaka, tadi lagi bicara sedikit sama bunda," ujar ku sambil mengambil helm yang diberi Jaka, lalu memakainya.

"untung aku orang nya sabar, Jingga. Kalo tidak, sudah kutinggal tadi." Aku tertawa melihat pemuda ini berbicara seperti itu.

Raden Jaka Bumantara namanya. Pemuda yang selalu berbagi kurva bahagia dikala kita sedang menghadapi pahitnya sang semesta.

Jaka merupakan pemuda dengan senyum menawan, membuat hati luluh lantah bagi kaum wanita. Tapi, bagiku senyum menawan nan indah nomer satu ialah senyum pemuda dengan asma Aksara Sansekerta. Itu saja sudah cukup.

"Jaka, mampir ke toko bu Sri dulu buat beli pecel ya," ujarku sambil memakai helm bewarna hitam pekat milik Jaka.

"Lho, Ngapain ngga? bukannya tadi udah sarapan ya?" tanya pemuda dengan asma Jaka itu. "Duh banyak tanya kamu, mau aku kasih ke mas crush hehe," jawabku seraya tertawa kecil.

Spontan Jaka melirik ke arah ku. Kemudian ia melapangkan kurvanya, "masih orang yang sama? Sansekerta? masih aja suka sama orang yang gak mengerti perasaan mu, Jingga. Bucin banget ya?" tanya nya seraya menghidupkan vespa miliknya.

Semesta, lihatlah ucapan pemuda ini. Kejam seperti dedemit :(

"Iya, kenapa? bukannya Jaka juga masih ada rasa dengan sang Mantan. Siapa lagi kalo bukan Den Ayu Stania?" aku tertawa puas. Habis nya pemuda ini sok sekali mengataiku seorang budak cinta kalo ia sendiri masih mempunyai perasaan pada Stania.

•••

"Jadi gimana, suratnya dibalas gak sama kak Sansekerta?" ucap gadis yang berada di depanku. Asma nya Den Ayu Stania, semesta memanggilnya dengan nama Stania. Jelita yang selalu menghias kurva bahagia bersamaku.

Aku terkekeh, "kamu ini lucu ya Stan, jelas-jelas suratnya kan gak aku beri nama. Ya, mana mungkin di balas sama dia. Kalo dikasih nama, ya malu aku. Masa perempuan yang mengutarakan perasaan nya dulu,"

"Siapa bilang perempuan gak bisa mengutarakan perasaan nya dulu, Siapa yang bilang Jingga?!" gadis didepan aku ini bisa ngamuk ternyata. "Ya biasanya cowo dulu yang menyatakan perasaan," jawabku seraya memakan bakso milik pak Eko.

"Dengerin ya Jingga. Semua insan yang berada di genggaman semesta boleh mengutarakan semua isi hatinya, termasuk perasaan. Emang kamu pernah denger kalo semesta melarang kita untuk mengutarakan perasaan? enggak kan. Gapapa, seenggaknya kamu pernah coba. Perihal patah hati biar belakangan. Yang penting perasaan yang udah di pendam bisa di utarakan. Kamu lega kan udah kirim surat ke kak Sansekerta," tutur Stania.

"Aku udah lega kok, ya-- meskipun sekedar surat."

Setelah saling bersua dengan rasa yang enggan diakhiri perannya, aku dan Stania melanjutkan untuk makan bakso yang sedari tadi tercuekkan.

Tak lama kemudian, aku mencium aroma yang membuat seluruh tubuhku bergetar. Parfum milik Sansekerta. Apakah ia disini?

Pemuda itu memasuki area kantin. Sungguh, cara ia berjalan sangat bagus, apalagi waktu main skating.

"Stan, itu ada kak Sansekerta," ucapku sambil menunduk, menyembunyikan kepalaku dibalik buku sejarah. "Aduh kenapasi aku malu banget ya, padahal kemarin-kemarin saling jumpa. Duh jantungku Stan, laju nya cepet banget"

Tepat disitu, netraku serta netra pemuda ber asma Sansekerta bertemu. Secepatnya aku langsung memalingkan pandangan dari dia.

Tapi tidak dengan Sansekerta. Ia malah berjalan dan menghampiri ku. Aku kesal kepada sang hati yang mudah luluh ini. Cuman perkara jatuh hati, tubuhku mulai gugup.

Untuk hatiku, maaf. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa, tetapi selalu saja memendam frasa untuk pemuda berasma Sansekerta.

"Hai, Jingga. Apakabar," sapa kak Sansekerta sembari duduk didepan mejaku. Kau tahu semesta, hatiku sekarang sedang luluh lantah.

"H-halo kak Sansekerta, kabarku baik kok. Kalo kakak gimana?" yang di tanya malah menggaruk tengkuk nya. "baik juga sih," jawabnya begitu.

"Kok sih," sahut ku penasaran.

"Jingga, kak Sansekerta. Aku lagi kebelet banget nih, aku tinggal dulu ke toilet ya," ungkap Stania. Aku tau ia sedang berpura-pura. "Stan, sama aku ya," sela ku sambil melirik gadis ber asma Stania itu.

Kau tahu semesta, apa yang dikatakan Stania?

"Eh ngapain, cuman bentar kok. Mending kalian berdua nunggu disini, sekalian ngobrol. Mungkin nanti bisa jadian." Stania bukan sahabatku. Siapa dia? Masam sudah wajahku.

J E E S S H U F F L Y
Proudly present

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TITIK PULANG Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang