Jeda

1K 102 10
                                    

Helaan napasku terdengar berat di telingaku sendiri. Melirik jam di pergelangan tangan yang terus berdenting. Memerhati sekitar, yang tak terlalu ramai. Mengingat hari ini bukan hari sabtu atau minggu.

Mencocol kentang goreng pada saus tomat, kukunyah lalu tertelan kasar. Seperti menelan kehidupan, harus terpaksa dengan gelontoran air.

Kusedot float di gelas besar, menggelontorkan kentang yang belum sepenuhnya tertelan. Air yang masuk melewati kerongkongan, seperti semua kenangan yang meruak masuk, melekat pada tubuh ini.

Memilih duduk di pojok, tak ada yang mengisi bangku depan, kanan dan kiri. Mencoba berdamai dengan diri sendiri, ternyata tidak mudah.

Kujeda lama, menyalahkan diri sendiri. Menunjuk anarkis bayangan diriku di cermin, memaki tiada henti. Yang tersisa hanyalah kenangan pahit dan semua kesalahan.

Semua tak menghakimiku memang. Tapi sudut matanya menelisik, mencari keping kejadian yang akulah penyebabnya.

Wanita yang tidak lagi muda, yang di rahimnya pernah diisi tiga makhluk. Dilahirkan dengan mengorbankan nyawa. Menangis histeris hampir tak sadarkan diri, itu yang kuingat.

Menambah kebencian terhadap diriku sendiri.

Betapa baiknya, meski kehilangan, tapi tetap setia menengokku. Menguatkanku yang sama-sama sakit, membantuku untuk melupakan semua yang telah terjadi. Tentu, meyakinkan diriku bahwa ini semua tak berhak ditimpakan pada diriku. Kesalahan itu bukan karenaku, katanya.

Semua kosong. Hidupku hilang, menyisakan tubuh yang masih sehat. Sedang jiwanya melayang jauh, malas bersarang pada tubuh.

Semua kubuang, kulepas dari kehidupan, tapi tetap melekat dalam memori. Kenangan itu terputar acak, membuatku terperosok dalam jurang kepiluan.

Jogja sudah kulepas, kuhapus dalam jangkauan ingatan. Semua tentang indahnya, kugerus. Kubuang, menjauh dari kedamaian batinku.

Semua kuganti. Ponsel, laptop, buku, baju, barang di kamar, semua kulenyapkan. Apa-apa yang membuatku masuk ke masa itu, sudah kusingkirkan.

Nadiyer sudah kuabaikan. Kulupakan akses masuk, telah kubiarkan menjamur tanpa pernah kusinggahi. Dia pergi, terkubur bersama penggemarnya.

Yang kutahu, Angga penggemar Nadiyer. Yang selalu mengirimi pesan menyebut Nadiyer atas nama anonim. Maka, Nadiyer ikut hilang. Tak ada lagi ketikan yang kutaruh di sana.

Semua kuperotoli dari kehidupanku selanjutnya. Menghilang dari tempat ternyaman. Buat apa? Karena nyaman yang dulu pernah kurasa malah membuatku jalan di tempat memaki diri sendiri.

Berat untuk menceritakannya, karena mengingatnya saja membuatku luruh dalam menyalahkan diri sendiri. Dua tahun tanpa jiwa. Aku meraskan itu. Ketika otak tak bisa diajak kompromi, bersama mental yang terus berlari ke belakang.

Pahit.

Hancur.

Hilang.

Kenangan.

Kesalahan.

Pergi jauh dengan ambisi untuk recovery tanpa psikiater.

Mulai kubuang kebencian untuk diriku sendiri. Kata orang, kita perlu mencintai diri sendiri. Ya, itu dulu. Dan sekarang aku terjebak dalam kebencian pada diriku sendiri.

Surakarta bahagia hari itu. Sedang mendung Jogja berujung pilu. Suara riuh terdengar. Lalu hilang, sepuluh menit.

Sepuluh menit itu aku lupa, selebihnya selalu terngiang.

Histeris.

Ketika mataku terbuka, ramai. Berjalan cepat, menidurkan satu tubuh di atas brankar.

Kilatan petir tanpa hujan, mencambuk diriku.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang