BAGIAN 1

495 15 0
                                    

Suatu pagi Desa Tandes, para penduduk maupun pendatang kelihatan hilir-mudik. Hari ini di setiap sudut desa ini kelihatan ramai. Seperti biasa, saat akhir pekan sekarang ini, digunakan para pedagang untuk berjual beli. Tidak hanya dilakukan oleh penduduk desa ini saja, tapi juga dari desa desa di sekitarnya. Bahkan biasanya dari kerajaan yang lain pun suka berdatangan.
Dan biasanya para pedagang atau pembeli yang berdatangan dari tempat yang jauh, membawa keuntungan pula bagi pemilik kedai makan serta pemilik rumah penginapan. Sebab biasanya mereka jauh-jauh hari telah menunggu hari pasar ini. Di samping itu, tidak kurang pula yang berdatangan sekadar untuk melancong.
Di antara lalu lalang orang yang tengah mengadu nasib, tampak seorang pemuda berbaju rompi putih. Dengan tenang kudanya dikendalikan sambil memandang ke sekeliling tempat. Pemuda berwajah tampan dan berambut panjang ini tidak lain dari Rangga yang dikalangan rimba persilatan dikenal sebagai si Pendekar Rajawali Sakti.
Matanya tidak lepas memandangi seorang laki-laki berusia lanjut berpakaian penuh tambalan. Pada punggung orang tua itu tampak sebuah keranjang berisi penuh kayu bakar. Tubuhnya agak kurus. Rambutnya yang sebagian telah memutih, kelihatan awut-awutan tidak terurus. Wajahnya sesekali berkerut menahan lelah. Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya.
"Kek, lebih baik istirahat saja dulu," pinta seorang gadis belia di sebelah orang tua itu.
"Ah! Bagaimana mungkin bisa istirahat? Kita harus menjual kayu bakar ini secukupnya untuk ditukar beras. Kalau tidak, kita tidak akan makan hari ini," desah kakek berpakaian tambalan.
"Tapi kakek kelihatan lelah sekali," ujar gadis belia yang berpakaian kumal itu dengan wajah tampak khawatir.
Orang tua itu menghela napas panjang. Kemudian dibetulkannya letak keranjangnya. Namun saat itu juga, tubuhnya tersungkur persis di hadapan kuda tunggangan Rangga yang bernama Dewa Bayu.
"Kakek! Kau tidak apa-apa?!" seru gadis itu cemas. Langsung dia memburu si kakek, setelah meletakkan seikat kayu bakar yang tadi dijinjingnya.
Sementara Rangga melompat turun dari kudanya. Segera dipapahnya orang tua itu. "Kisanak, kau tidak apa-apa?"
"Oh! Aku..., aku tidak apa-apa," keluh orang tua ini, terduduk lesu dengan napas memburu.
"Kemana tujuan kalian?" tanya Rangga pada gadis itu.
"Kami hendak menjual kayu bakar ini. Sebab persediaan beras dirumah sudah habis."
"Hm," Rangga segera merogoh kantong dibalik pinggangnya. Lalu dikeluarkannya beberapa keping uang perak dan segera diangsurkan pada gadis itu.
"Hari ini biarlah kalian tidak usah menjualnya. Terimalah ini. Dan belikanlah beras untuk keperluan kalian."
Gadis itu terdiam seraya memandang Rangga. Kemudian kepalanya berpaling pada kakeknya. "Maaf, kami tidak biasa menerima pemberian tanpa imbalan apa pun. Kakek selalu mengajarkan begitu," tolak gadis itu, halus.
Sementara orang tua itu kembali berusaha mengangkat keranjang berisi kayu bakar. Namun kembali kepalanya terduduk lesu. Tenaganya seperti terkuras habis.
"Kisanak, sekarang begini saja. Bukankah kalian hendak menjual kayu bakar ini?" Orang tua itu mengangguk lemah. "Nah! Terimalah uang ini Biar kubeli kayu bakar kalian."
Orang tua itu memandangnya seraya tersenyum kecil. "Kau hendak membeli kayu bakar kami?" tanya orang tua itu meyakinkan. Rangga mengangguk. "Tapi harganya tidak begitu mahal, Kisanak. Kami tetap tidak bisa menerima kebaikanmu," tolak kakek itu
"Kalau begitu, berapa harga kayu bakar kalian semua?"
"Hanya dua setengah kepeng," sebut orang tua itu.
"Nah, terimalah!" ujar Rangga seraya mengurangi jumlah uang yang disodorkannya, sehingga sesuai jumlah yang disebutkan orang tua itu.
Keduanya tidak segera menerima pembayaran itu, tapi saling berpandang sejenak. Kemudian tatapan mereka beralih kepada Rangga.
"Ayo, ambillah. Bukankah aku akan membeli kayu bakar kalian? Kenapa kalian ragu? Apakah tidak jadi menjualnya?" tanya Rangga, sambil tersenyum.
"Kisanak, kulihat kau bukan penduduk sini. Dan melihat pakaianmu yang penuh debu serta kudamu yang kelelahan, tentu kau telah melakukan perjalanan cukup jauh. Dan pastilah kau seorang pengembara. Lalu apa gunanya kayu bakar itu untukmu?" tanya orang tua itu, dengan wajah heran.
Rangga tersenyum.
"Untuk apa kayu bakar ini sebenarnya dibeli orang? Tentu untuk digunakan sebagai pembakar, bukan? Nah, Kisanak. Ternyata kau cukup jeli juga. Aku memang seorang pengembara. Tapi pengembara yang malas. Sebab bila kemalaman di tengah jalan dan aku membutuhkan api, maka aku malah mencarinya. Makanya, aku membelinya dari orang-orang seperti kalian sebagai persediaan," sahut Pendekar Rajawali Sakti memberi alasan.
Orang tua itu tersenyum. Dan tidak punya kata-kata lagi untuk menolak, "Nah, Sarti. Bagaimana menurutmu? Bukankah kita tidak bisa menolaknya?" tanya orang tua itu.
Gadis yang dipanggil Sarti tersenyum seraya menundukkan kepala. "Itu terserah kakek saja."
Setelah membayar harga kayu bakar itu, Rangga menaikkannya kepunggung kuda. Sementara orang tua dan gadis ini berdiri di dekatnya.
"Kisanak, apakah tujuanmu ke desa ini atau ketempat lain?" tanya orang tua itu.
"Hm, sebenarnya aku tidak punya tujuan tetap. Hanya mengikuti langkah kaki saja."
"Kau membawa pedang. Pastilah seorang pendekar ternama,"
Rangga tersenyum. "Pedang ini sekadar melindungi diri dari orang orang yang hendak menganiaya ku, Kisanak. Dan aku sendiri bukanlah seorang pendekar ternama," sahut Rangga merendah.
"Namaku, Ki Gandi. Dan ini, cucuku Sarti. Bolehkah kami tahu namamu, Nak?"
"Namaku Rangga."
"Rangga? Hm. Sebuah nama yang bagus. Bila kau tidak punya tujuan dan tidak terburu-buru, sudikah mampir ke gubuk kami? Aku ingin sekali menghormati orang-orang yang berbuat baik padaku."
"Eh, Aku..."
"Ayolah, Kakang Rangga. Kami akan sangat dihormati kalau kau sudi mampir sekadar melepaskan dahaga," ajak Sarti, sedikit mendesak. Rangga berpikir sejenak. "Rumah kami tidak jauh dari sini," lanjut gadis itu.
"Baiklah."
"Terima kasih, Kakang Rangga. Dan kalau tidak keberatan, biarlah Kakek dan Kakang pergi dahulu. Maka aku akan membeli beras lebih dahulu," kata gadis itu tanpa meminta persetujuan si pemuda dan terus berlalu kepasar terdekat.
"Mari, Rangga!" ajak Ki Gandi.
Pendekar Rajawali Sakti mengikuti langkah Ki Gandi seraya membimbing kudanya.

146. Pendekar Rajawali Sakti : Bunuh Pendekar Rajawali SaktiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang