BAB 3. Terbang (ke)Tinggi(an)

164 35 20
                                    

Ali sedang sibuk bersama serakan kertas di kamarnya. Ia mencorat-coret kertas dengan tulisan-tulisan, menuangkan ide-ide yang memenuhi kepalanya.

Saat mulai mentok, biasanya Ali membaca buku. Ia meletakkan buku-buku bajakannya menumpuk tinggi di atas sebuah batu besar hitam berbentuk seperti kubus. Ali tidak pernah tahu dari mana asalnya batu unik yang selalu dibawa setiap mereka pindah rumah.

Ali berdiri, ingin mengambil sebuah buku. Tiba-tiba pandangan Ali menjadi kabur. Setelah matanya dapat melihat dengan jelas lagi, tiba-tiba ia jadi berada di tempat lain.

Dengan heran Ali memandangi bangunan kantor di depannya. Ia tidak bisa menyentuh apapun yang ada di situ, bahkan orang-orang yang berjalan di sana bisa menembus badannya.

Bangunan kantor ini sangat tinggi, Ali memandanginya hingga ke puncak bangunan. Tiba-tiba pandangan Ali menjadi kabur lagi. Setelah matanya dapat melihat dengan jelas, Ali telah kembali berada di kamarnya.

*****

Santoso sibuk memfotocopy. Angga, Sarah dan Pipit sedang makan siang. Ali datang.

"Wah, order tadi malam udah dikerjain semua sama Mas Santoso," ujar Ali sambil memeriksa tumpukan kertas.

"Mas Santoso emang rajin banget. Eh, dia protes lho, kalo di panggil Mas. Enggak mau kelihatan lebih tua, hihihi," ujar Pipit.

"Padahal tampangnya juga boros, hehe. Becanda, Mas," ujar Ali.

Santoso tertawa. Ali melirik Anga yang sedang asyik membaca buku.

"Wih, buku arsitektur! Masih SMA, ngapain baca buku anak kuliah, Ga?" tanya Ali iseng.

"Sekarang gue lagi nyicil cita-cita, sesuai petunjuk bapak bisnis Indonesia," canda Angga.

"Masih kurang ngebut. Harusnya ini lu yang bikin," ujar Ali sambil mengeluarkan sebuah gambar dari dalam tasnya.

Ali menunjukkan gambar gedung kantor buatannya. Sarah dan Pipit mendekat untuk melihat gambar Ali.

"Bagus, Al. Lu mau jadi arsitek juga?" tanya Angga.

"Pemilik perusahaan kontraktor. Para arsitek kerja untuk kita," jawab Ali.

"Iya, iya. Jangan nanggung, hehe," sahut Angga.

Ali menempel gambarnya di dinding kios.

"Gedung tertinggi sedunia ini bakal jadi kantor kita," ujar Ali.

"Keren!" puji Pipit.

"Gambarnya emang keren, tapi mimpinya ketinggian," komentar Angga.

"Apa salahnya, Ga?" tanya Sarah.

"Sesuatu yang berlebihan, jelas salah. Al suka ngajak kita terbang tinggi, tapi ini udah ketinggian. Entar kalo enggak sampe, kita bukan cuma benjol, tapi remuk," jawab Angga.

"Itu sih resiko terbang. Kalo takut jatuh, kita bakal ada di bawah terus," ujar Sarah.

"Paham. Maksud gue, kalo ngayal, yang terukur juga," sahut Angga.

Ali merangkul Angga. "Yang lu kuatirin apa sih, Ga? Buat arsitek, gambar kayak gini disebut perencanaan, bukan khayalan. Lihat aja, bentuknya kan cuma geometri biasa, berdirinya juga masih di atas tanah, bukan di khayangan. Terus, lu tanya, duitnya dari mana buat bangun gedung segede itu? Angga, emangnya gedung ini harus jadi besok? Terus, lu protes lagi, kenapa gambarnya enggak nanti aja? Jawaban gue simpel, kalo gue tahu apa yang gue kejar, gue jadi lebih semangat dan tahu apa aja yang harus gue siapin," ujar Ali.

Angga tertawa. "Gokil! Lu pernah ke masa depan? Pertanyaan yang belum gue tanya aja, udah lu siapin jawabannya. Oke, gue terpaksa setuju ngikutin kegilaanlu."

Al Kahfi Land 3 - DelusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang