#10 Curiga

2.1K 290 8
                                    

Sinar mentari pagi masuk dari celah-celah jendela rumah. Zora duduk melamun di ruang tengah, menatap dinding polos yang terlihat sangat sepi. Tak ada satu pun hiasan di sana. Padahal, di masa depan dinding itu penuh akan bingkai foto yang ayahnya pasang. Tapi, Zora tak pasti akan kapan ide itu muncul dan dieksekusi. Ternyata, banyak detail dari masa lalunya yang sudah ia lupakan. Pikiran manusia memanglah terbatas.

Zora beranjak dari tempat duduknya, berjalan menuju dapur yang sudah berbau sedap. Mama dan Nenek terlihat sibuk dengan berbagai bahan makanan yang ada. Zora mendekati mereka, ingin tahu apa saja masakan yang ada di atas kompor. Bahkan panci-panci itu tempatnya lebih tinggi daripada tinggi badan Zora sekarang.

"Nenek masak apa?" tanya Zora. Ia menyerah untuk melihat isi panci setelah berjinjit lama dengan kakinya.

"Jukut undis."

Nenek menyendok isi panci itu lalu menuangkannya pada sebuah mangkuk besar. Ia menyodorkannya pada Zora. Zora tersenyum menatap semangkuk jukut undis itu.

"Kesukaan kamu, Ayah kamu, sama Kakek kamu. Nggak tahu kenapa bisa turun-temurun gitu."

"Baru kemarin makan ini," ucap Zora.

Nenek mengernyitkan dahinya, tanda tak mengerti, "Kapan? Kayaknya kemarin Nenek nggak masak, kok."

Zora melebarkan sunggingan senyumnya setelah ia sadar perihal kata-katanya. Dengan tidak sengaja dia berbicara soal jukut kacang undis yang dia makan beberapa hari lalu. Beberapa hari lalu, di masa depan. Nenek hanya menatap bingung cucunya, berusaha mengingat-ingat apa yang mereka makan kemarin. Tak ada yang muncul dalam pikirannya. Ia tak ingat sama sekali.

"Zo, antar kopi buat Ayah, gih," ucap Mama sembari menaruh secangkir kopi panas di meja makan.

"Iya, Ma."

"Pelan-pelan, pakai ini, nih..."

Mama melihat Zora sudah berlalu dengan secangkir kopi yang ada di tangannya. Langkah Zora terlihat cekatan. Merasa heran, Mama tak pernah tahu Zora bisa membawa secangkir kopi panas dengan tanpa ragu sedikit pun. Biasanya Zora akan berjalan dengan lambat dan menggunakan apa pun sebagai alas tatakan. Tapi, yang ia lihat di sana adalah sebuah hal aneh dan sangat ajaib. Ia tertawa kecil menepis rasa bingung yang masih ia rasakan.

Ayah ada di halaman depan rumah, sibuk membuat ayunan pohon. Ia berkata akan memenuhi janjinya untuk membuat ayunan pohon yang Zora selalu pinta. Padahal Zora sudah tak ingat kapan ia merengek meminta hal itu. Zora menaruh cangkir kopi hitam di atas kursi rotan yang ada di teras depan. Empat pasang kursi rotan yang tetap akan ada di sana sebelas tahun lagi. Walau nanti, mereka lapuk dimakan usia dan rayap, tetapi masih cukup kuat untuk digunakan. Mungkin alasan mengapa siapa pun tidak memindahkannya karena Kakek kerap sekali duduk di sana semasa hidupnya. Jadi, mereka masih dapat merasakan keberadaan Kakek walaupun ia sudah tiada. Mereka tak akan tahu kapan Kakek pergi. Kapan Kakek akan berhenti menikmati tenangnya hari dengan duduk di kursi itu. Dan Zora tak akan bilang apa pun, pada siapa pun, tentang apa yang akan terjadi.

Suara gergaji kayu terdengar dari arah Ayah. Zora berbalik, bermaksud untuk kembali ke kamarnya, namun ada suatu perasaan tak lazim muncul dari dalam dirinya. Zora menatap cangkir kopi itu. Ia pernah ada di sini. Ia pernah melakukan ini. Rasa itu begitu kuat dan sangat mengganggu pikirannya. Ia yakin dirinya sedang mengalami Déjà vu. Saat pandangan Zora beralih lagi ke arah Ayah, perasaan itu semakin kuat. Ia menggali lagi memorinya lebih dalam, mencoba menemukan sesuatu yang mungkin bisa kembali pada nalarnya. Dan, ya, Zora pernah ada di sini. Ia pernah berjalan tergopoh membawa secangkir kopi itu, lalu menaruhnya sama persis dengan tempatnya sekarang. Ayah pernah ada di halaman depan sedang memotong kayu untuk tempat duduk ayunan itu. Lalu, yang Zora bisa ingat... Benar. Benar. Tangan Ayah akan terluka karena gergaji kayu yang sedang ia gunakan!

ZORA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang