"Sebelum umur 21, aku udah bisa cari uang sendiri, loh, Yah!"
Zora menjilat es krim cokelatnya. Suasana panas di Pantai Lovina siang ini tak begitu terasa karena hembusan angin kencang yang menerpa sekitaran mereka. Mereka mengunjungi sebuah kedai es krim pinggir pantai milik salah satu teman SMA Ayah.
Ayah tersenyum mendengar ucapan anaknya, "Oh iya? Kerja apa kamu, Nak?"
"Jadi, aku kayak punya... akun sosial media, gitu, namanya instagram. Nah, bisa dibilang, aku terkenal... gitu deh!"
"Kamu artis?"
"Nggak, Yah. Instagram itu kayak apa, ya... Kayak facebook! Tapi khusus buat unggah foto. Aku suka upload puisi-puisi aku ke sana. Eh orang-orang pada suka, terus banyak orang lagi yang suka, begitu terus berlanjut. Sampai besar banget. Dan akhirnya... Aku buat buku! Baru satu, sih. Tapi laku banget. Buku aku yang kedua belum selesai sampai sekarang."
"Jadi di masa depan kamu jadi penulis, Zo?"
Zora menangguk. Kemudian kembali sibuk memakan es krimnya. Ayah semakin girang mendengar cerita anaknya. Namun, tiba-tiba...
"Maaf, ya, Yah. Aku nggak bisa jadi apa yang Ayah harapkan," ucap Zora dengan pelan.
"Maksud kamu gimana?"
"Mungkin Ayah nggak mau kalau Zora cuma jadi penulis."
Ayah menatap putrinya dengan tulus. Ia bertanya-tanya kenapa Zora beranggapan bahwa ia tak akan merasa bangga dengan pencapaiannya di usia muda. Padahal di dalam otak Ayah sudah tertumpuk tinggi berbagai pujian berbangga yang ingin ia lantunkan pada putri semata wayangnya.
"Zora, yang terpenting bagi Ayah... Kamu tetap akan jadi anak yang mandiri, kuat, yang selalu berusaha buat kasih yang terbaik, bukan untuk orang lain, tapi untuk diri kamu sendiri. Utamakan diri sendiri dulu, karena hati sama pikiran kamu akan kamu bawa sampai nanti."
"Tapi aku juga mau berguna buat orang lain, Yah."
"Bukannya sudah? Setahu Ayah, seorang penulis itu nggak hanya dapat mewakili rasanya sendiri, tapi juga perasaan pembacanya. Jika dengan menulis bisa membuat kamu merasa lebih baik, orang lain pasti bisa rasakan yang sama, kok. Sama saja dengan berguna bagi orang lain, kan? Jadi penulis itu hebat, Zo. Dan Ayah bangga."
Haru melanda perasaan Ayah karena ucapannya sendiri. Hatinya bergetar, matanya pun mulai basah. Ia menepuk kepala Zora dengan lembut. Zora di masa depan nanti sudah menjadi anak yang selalu ia harapkan. Semua hal yang ia pupuk di dalam diri Zora semenjak ia kecil akhirnya akan berbuah sesuatu yang besar di masa depannya. Ayah tahu tidaklah mudah untuk menjadi seorang penulis. Tidaklah mudah untuk menuangkan setiap rasa yang jujur ke dalam bentuk kata, kalimat, hingga paragraf dan menjadi buku. Pekerjaan apa pun tak ada yang mudah. Pasti selalu ada usaha besar dan kerja keras di baliknya. Dan Zora membuktikan bahwa sejak usia belasan tahun, dia sudah berusaha baik untuk mengejar apa yang menjadi mimpinya. Ayah tak sabar untuk merasakan rasa bangga mendalam atas anaknya yang akan ia rasakan bertahun-tahun dari sekarang.
Zora kembali menatap ayahnya yang buru-buru menghapus air mata yang sudah muncul di ujung matanya.
"Ayah nangis?"
"Nggak, ini kelilipan pasir. Siapa yang nangis?"
"Ayah tahu, kan, kalau Zora yang ini nggak bisa dibohongin?"
Ayah tersenyum, lalu merangkul Zora erat. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan saku miliknya dan memberikannya pada Zora.
"Mana, coba kamu tulis puisi kamu. Ayah mau baca."
"Okay, siapa takut?"
Zora memutar pandangannya, mulai memperhatikan sekitar untuk mencari inspirasi tulisannya. Jauh di dekat bibir pantai, ada seorang anak kecil yang berlari sambil menarik sebuah layang-layang. Ia berlari dengan kencang mengikuti hembusan angin yang menerbangkan layang-layang itu. Zora memperhatikan anak itu dengan seksama. Tak lama, bocah laki-laki itu terjatuh entah karena tersandung apa. Layang-layangnya putus. Ia berteriak dan mencoba berdiri. Namun, mungkin karena pasir yang licin dan basah terkena ombak, dirinya terjatuh lagi. Dua kali, lalu tiga kali. Saat ia mencoba untuk menstabilkan kakinya, layang-layangnya sudah terbang jauh dari tempatnya berdiri. Dengan segala rasa kecewa, anak itu roboh lagi di lututnya.
Kejadian itu seakan memberi ilham bagi Zora. Ia segera mulai menulis.
Terlalu banyak harapan yang tak pasti
Tercecer pada jalan asing yang kita lewati,
Bangkit bukan sesuatu yang berarti lagi,
Karena ia hanya memberi mimpi,
Untuk jiwa yang sudah mau mati.
Zora membaca ulang setiap kata yang ia tulis. Ia bangga dengan tulisannya sendiri, selalu seperti itu. Kemudian Zora memberikan buku saku itu kepada ayahnya.
"Wooah... Ini bagus banget, Nak!" Ayah takjub membaca tulisan Zora, "Tapi... kenapa puisi kamu kelam sekali?"
"Zo lebih suka nulis yang kelam-kelam. Menurut Zora, rasa bahagia selalu gampang dijelasin. Tapi kesedihan nggak. Rasanya kayak ditantang, gitu."
"Terus inspirasi kamu apa?"
Senyum dari wajah Zora langung memudar. Ia tak mungkin bilang ke ayahnya bahwa inspirasi terbesar dari suramnya puisi-puisi ciptaannya adalah... ayahnya sendiri. Kekosongan yang tercipta karena kematian Ayah adalah benih dari duka cita yang Zora rasakan. Sehingga puisi-puisi itu dapat lahir ke dunia.
"Inspirasi aku berasal dari..." Zora meneguk ludahnya sendiri,
"... Saat aku sadar kalau hidup bukan selalu soal terangnya siang, Yah, tapi juga soal gelapnya malam. Siang juga bisa bermendung hitam, dan terkadang malam suka membawa kejutan. Aku menulis sebagai cara untuk menempatkan diri di dunia ini, bukan melawannya. Agar nggak tersesat di luasnya semesta.
... Dan agar aku bisa selalu mengenang abadi apa pun yang meninggalkan...
... Maupun aku tinggalkan."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ZORA | ✓
General Fiction[Pemenang Wattys Award 2020 kategori New Adult] COMPLETED ✓ Namanya Zora. Dapat berarti fajar, atau, matahari yang terbit dengan indah. Tapi sayang, hidupnya tak seindah namanya. Kehilangan hebat di masa lalu merenggut terang dari dunia Zora, membua...