Motor Ayah berhenti di sebuah pantai berpasir hitam. Tempat ini adalah pantai kedua yang mereka kunjungi di hari Minggu ini. Zora segera turun dari jok belakang motor dan berlari ke arah ombak. Ayah tersenyum melihat anaknya. Zora bercerita kalau jalan-jalan kecil di pinggir pantai itu akan hilang di masa depan, digantikan oleh resort dan restauran mewah. Zora juga bercerita kalau saat beranjak dewasa nanti, semua kesibukannya membuat Zora sangat jarang sekali memiliki waktu untuk berlibur. Tidak hanya tak sempat untuk pergi ke pantai, bahkan Zora tak punya waktu yang cukup untuk tidur dengan nyenyak. Otaknya selalu dipenuhi ide untuk digarap. Kamar yang seharusnya menjadi tempat beristirahat, malah menjadi ruang segi empat untuk bekerja siang dan malam. Dia selalu melihat Zora terjaga hingga pagi, hanya untuk menulis.
Dan dengan kembalinya jiwa Zora ke masa lalu, Ayah ingin mewujudkan nostalgia masa kecil anaknya sekali lagi, memberikan Zora waktu yang sangat banyak untuk menjernihkan pikirannya.
Kebahagiaan sangat terpancar dari wajah Zora. Ia berlarian menyentuh ombak, memungut cangkang kerang yang ada di hadapannya, memotret apa saja yang kameranya tangkap... Bahkan Ayah bertanya-tanya apa Zora versi 21 tahun masih ada di tubuh kecil itu, karena kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan remaja dewasa yang ia tahu. Mungkin, semua orang dewasa akan menjadi anak kecil di depan hal yang disukainya.
"Zora... Sini, Nak!"
Ayah berteriak memanggil Zora sebelum ia kabur lebih jauh dari tempat Ayah duduk. Zora segera beralih menuju ke arah ayahnya.
"Ayah mau bicara sama kamu."
Belum sempat Zora mengangguk, sebuah kenangan muncul dari dasar benaknya. Sial, hari apa ini? Apa nama pantai ini? Kenapa ia bisa lupa? Memori itu seakan memaksa Zora untuk mengingatnya lebih detail. Karena hal itu sangatlah penting, bagai sebuah penentu akan masa depan yang harus dunianya jalankan.
"Ayah sama Mama tahu kamu sudah nyaman tinggal di sini..."
...
...
"Jadi kita mutusin buat pindah ke sini, buat nemenin kamu, jaga kamu..."
Deg. Jantung Zora seakan berhenti bekerja. Isi dari memori itu akhirnya terpampang utuh. Ia tahu hari ini akan datang, tapi tidak secepat ini. Di memorinya, Zora kecil sangat bahagia mendengar keputusan orang tuanya. Tapi, tidak kali ini. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya, memenuhi pikirannya dengan rentetan kejadian yang ia tahu akan terjadi.
"Kamu senang, kan? Jadi kamu tetap bisa temenan sama kawan-kawan kamu, terus nanti..."
"Zora nggak mau Ayah sama Mama pindah!"
Ayah terkejut mendengar Zora yang berteriak kepadanya. Langsung timbul rasa bingung pada hatinya. Ia kira, putrinya akan sangat gembira mendengar keputusannya untuk pindah ke kota ini. Tapi ternyata, Zora menolak pilihan itu. Sebenarnya ada apa? Mengapa Ayah merasa ada yang janggal?
"Artshop Ayah di Ubud... gimana? Itu artshop yang udah Ayah bangun dari dulu, masa' mau Ayah tutup gitu aja?"
"Ada teman Ayah yang ngajak kerja sama untuk buka bisnis travel di sini, Zo..."
"Ini cuma kota kecil, Yah... Ayah kira semuanya bakal semudah itu?" teriakan Zora semakin kencang, membuat degup jantung sang ayah menjadi tak beraturan.
"Sebenarnya ada apa sih, Zo?" Ayah memotong pembicaraan Zora.
Zora menatap ayahnya dengan kalut. Isakan itu mulai terlihat. Sisa sesak dari masa yang akan datang mengikuti langkahnya kemari. Bibir Zora bergetar, kakinya lemas tak kuasa menopong tubuhnya lagi. Hal yang paling ia takuti akan tiba. Melihat ke belakang, ke kejadian-kejadian yang tak dapat ia ubah... Rasanya percuma untuk menolak kepindahan Ayah ke kota ini. Rasanya percuma untuk menghindari takdir itu. Tak akan ada yang bisa dihindari walau sudah berusaha sekuat kuasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZORA | ✓
Ficção Geral[Pemenang Wattys Award 2020 kategori New Adult] COMPLETED ✓ Namanya Zora. Dapat berarti fajar, atau, matahari yang terbit dengan indah. Tapi sayang, hidupnya tak seindah namanya. Kehilangan hebat di masa lalu merenggut terang dari dunia Zora, membua...