#20 Rumah Sakit

1.4K 248 1
                                    

Rasa takut dari sepuluh tahun yang lalu kembali mengusik. Zora berdiri tak bergeming di depan pintu masuk rumah sakit yang terasa bagai tempat terkutuk baginya. Bangunan rumah sakit yang berwarna hijau terang seakan mengolok diri Zora kecil yang dipenuhi gulita. Nyali Zora ciut, ia tak bisa melangkahkan kakinya lagi untuk masuk ke dalam sana.

"Sudah siap, Zo?" Om Jaya tiba-tiba muncul di belakang Zora. Ia menjinjing sebuah tas ransel besar, berisi beberapa pakaian milik Ayah.

Kemarin siang Ayah dilarikan ke rumah sakit masih dalam keadaan kejang. Bahkan, sampai sekarang dirinya belum sadar dari kondisi kritis. Om Jaya langsung menjemput Zora dan Nenek ke Singaraja pagi tadi. Nenek sudah lebih dulu naik ke lantai atas, ke ruangan di mana Ayah dirawat. Zora, yang dengan beribu alasan tak ingin pergi ke Denpasar, terpaksa ikut karena Nenek yang menangis meraung saat mendengar putra tertuanya dilarikan ke rumah sakit karena penyakit yang belum pasti diketahui.

Zora kembali menatap pintu depan rumah sakit itu. Ramainya orang berlalu-lalang tak menutupi delusi tentang berbagai kejadian mengerikan yang terjadi di dalamnya. Keadaan rumah sakit terlihat gelap dari luar gedung, dan Zora tahu seberapa temaramnya suasana hati orang-orang yang ada di sana. Sungguh ia tak ingin masuk ke dalamnya.

"Zora nggak mau ikut, Om."

"Kenapa?"

"Zora nggak mau lihat Ayah dalam keadaan..." air mata Zora mulai berlinang.

Om Jaya menatap pilu keponakannya, ia lalu membungkuk di hadapan Zora,

"Kalau kamu nggak ikut, siapa yang jagain kamu?"

"Aku bisa jaga diri, kok. Om pergi aja ke atas, aku nggak apa-apa sendirian," Zora memaksa, matanya membulat berusaha meyakinkan pamannya.

"Zora..." ucap Om Jaya lembut, "Setidaknya ketemu dulu sama Mama kamu, ya? Kasihan dia. Selain Zora, siapa yang bakal jagain Mama kamu saat dia jagain Ayah Wina?"

Zora menunduk, ia jelas lupa memikirkan keadaan ibunya. Betapa egoisnya dia untuk berniat pergi dalam keadaan genting seperti ini. Dulu, Zora pernah melakukannya, berkali-kali, hampir sepenuh waktunya. Sekarang tidak lagi, tidak boleh. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti keadaan.

Zora segera mengangguk pelan, memberi jawaban setuju untuk ikut masuk ke dalam. Om Jaya tersenyum, ia segera bangkit dan berjalan duluan. Zora yang mengikuti pamannya di belakang dapat merasakan bulu kuduknya berdiri sesaat ia menginjakkan kaki di pintu rumah sakit. Bau karbol langsung menyerbak menyambut kedatangan mereka. Zora sudah melupakan beberapa detail dari rumah sakit ini, namun ingatannya kembali muncul saat masuk ke dalamnya. Om Jaya dan Zora segera menaiki lift, menuju ke tempat di mana Ayah berada.

Ayah masih dirawat di ruang ICU di lantai dua sejak kemarin. Zora dan Om Jaya menuju ke sana. Sedangkan ruang rawat inap Ayah berada di lantai empat rumah sakit ini. Belok kiri setelah keluar dari lift, belok kiri lagi setelah meja resepsionis, dan ruangan itu berada di bagian paling sudut lorong. Ruang Cempaka 10, Zora mengingat jelas, walau ia dapat menghitung jari berapa kali ia mengunjungi Ayah ke sini di masa lalu. Ia tak tahu apakah rumah sakit ini masih berdiri sepuluh tahun lagi, tapi untuk sekarang, tak akan ada yang berubah karena ini bukan masa depan.

Jantung Zora berdegup lebih kencang saat pintu lift terbuka. Mereka sudah sampai di lantai itu. Zora menahan nafasnya, entah kenapa suara degup jantungnya dapat terdengar nyaring. Ia segera melangkah keluar membuntuti pamannya yang enggan menunggu rampung serangan panik yang ia alami. Di mana Zora mendengar suara teriakan yang familiar...

"... Terus kenapa suami saya belum bangun sampai sekarang, Dok!?"

"Ibu tenang dulu. Kita sudah melakukan semua penanganan yang diperlukan."

ZORA | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang