Hari ini, Ayah akan dipindahkan dari ruang ICU ke bangsal rawat inap yang sudah disediakan. Ruang Cempaka 10, Zora menatap pintu ruangan itu yang terbuka lebar. Om Jaya berlalu-lalang di dalam ruangan, menaruh semua barang-barang bawaan yang sedari kemarin berserakan di dalam mobil dan ruang tunggu. Tante Chandra membawa Nenek ke rumahnya untuk sejenak tidur dan beristirahat. Mama sedang berada di lantai bawah untuk mengurus administrasi dan kepindahan Ayah ke bangsal.
Suasana di lantai empat ini sangatlah sepi, tak banyak pasien yang dirawat di lantai ini. Tak ada orang lewat di koridor tempat Zora berada. Ia hanya sendirian dengan pikirannya, ditemani pamannya yang sibuk sendiri di dalam sana. Om Jaya terlihat menutup semua korden yang ada di ruangan itu. Ia lalu memencet remote AC berkali-kali, seakan mengatur suhu ruangan pada titik yang paling ujung. Zora yang ingin protes soal pamannya yang memblokir cahaya matahari dari jendela, tiba-tiba terhenti setelah mendengar suara pintu lift yang terbuka. Disusul oleh gema suara ranjang pasien yang didorong pelan. Dalam harap-harap cemas, Zora menunggu untuk siapa yang akan muncul dari ujung lorong. Keyakinan dalam hatinya bertambah saat sosok Mama muncul dalam pandangannya, diikuti oleh dua orang suster yang mendorong ranjang Ayah. Mereka berjalan pelan, melewati Zora yang mematung melihat Ayah yang sudah sadar. Matanya melirik lemah ke arah Zora sebelum dibawa masuk ke dalam kamarnya.
Kaki Zora kembali bergetar, ia berusaha mengatur nafasnya yang tersengal. Hatinya lagi-lagi sakit. Penyakit sialan. Ayah tak lagi memandang Zora dengan tatapan berbahagia karenanya. Setelah semuanya selesai, Mama, Om Jaya dan para perawat itu menutup pintu kamar, lalu sibuk berbincang entah membicarakan apa. Zora kembali membuka pintu itu, melangkah tak pasti ke dalam ruangan gelap yang sudah dingin beku. Ia segera menyeka tirai yang menghalanginya dan...
"Zora..."
Sebuah panggilan rendah terdengar dari tubuh lumpuh yang terbaring di atas ranjang pasien. Zora yakin mengenali ayahnya, namun tidak dengan berbagai peralatan medis yang terpasang pada sekujur tubuhnya sekarang. Langkah Zora semakin melambat, namun pasti untuk sampai di sebelah Ayah. Ia menatap pilu sang ayah, matanya kembali basah.
"Ayah..."
"Ka...kamu di sini, Nak..."
Ayah berucap dari dalam ventilator yang membantu pernapasannya. Matanya yang berat dapat menangkap Zora berkali-kali mengusap wajahnya guna menghapus air mata yang tak mau disuruh berhenti.
"Zo... Ayah ngg... Ayah nggak apa-apa," Ayah berusaha meyakinkan Zora.
"Maafin Zora, Yah..."
"..."
"Maafin Zora karena melewatkan semua ini dulu."
"Jangan nan...nangis, Zo..."
"Jangan nangisin Ayah..."
Zora terkesiap mendengar suruhan ayahnya. Ia akui, ia memang sangat cengeng, namun Ayah tak pernah marah saat Zora menangis dengan atau tanpa alasan. Sosok yang hangat itu selalu membiarkan tawa untuk berkumandang keras, dan air mata untuk jatuh. Baginya, menangis adalah ekspresi, sedih jugalah rasa. Hidup ini selalu soal dua hal berlawanan yang saling melengkapi. Bahagia dan sedih, mudah dan susah, tawa dan tangis, senyum dan murung... Dan untuk menjadi manusia yang hidup, ia selalu memperbolehkan untuk merasa segala rasa.
Namun, ini pertama kalinya Ayah tidak mengizinkan Zora untuk menangis.
"Maafin Zora, Yah. Maafin Zora."
***
Zora terdiam mengamati segelas teh hangat di hadapan Mama. Ia kembali menyendok sesuap nasi campur yang Mama pesan untuknya. Keadaan cafetaria di lantai tiga rumah sakit pagi ini masih sepi. Di luar sana, matahari fajar sedang tidak berselera untuk tampil. Sebentar lagi musim panas akan berakhir. Wajar bila langit mendung yang menjadi pembuka pada pagi ini, rasanya percuma jika matahari ada, tapi sinarnya tak mampu terangi pikiran yang sedang muram-muramnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZORA | ✓
Genel Kurgu[Pemenang Wattys Award 2020 kategori New Adult] COMPLETED ✓ Namanya Zora. Dapat berarti fajar, atau, matahari yang terbit dengan indah. Tapi sayang, hidupnya tak seindah namanya. Kehilangan hebat di masa lalu merenggut terang dari dunia Zora, membua...