Belakangan, ada hal janggal yang mengganggu pikiranku. Aku yang selalu pegang ponsel pun kini agak menganggap benda itu aneh. Penyebabnya bermula sejak dua minggu lalu, ketika mamak pulang membawa ponsel baru pertamanya, dibeli dari kota.
Senyum lebar terus menghiasi wajah mamak. Sejak hari itu, mamak sering menanyaiku tentang cara mengoperasikan ponsel-pintar-baru-merah-kinclong yang sejak kemarin dipakai untuk memotret dirinya sendiri. Daster pink bunga-bunga yang dikenakannya hari itu pun terlihat nyentrik sekali.
"Mak, foto-foto terus. Memang mau dikirim buat siapa, sih?" tanyaku penasaran sambil mengupas kuaci. Mamak sepertinya kecanduan gawai.
"Bapak kau lah. Siapa lagi?"
Dijawab begitu, aku cuma bisa menaikkan alis, manggut-manggut pelan, dan merespon oh tanpa suara. Kemudian kembali mengupas kuaci asin yang kubeli di warung tetangga.
"Eh, Mat?" panggil mamak, membuatku yang baru saja serius menonton berita sembari mengunyah kuaci pun menoleh sembilan puluh derajat. "Nanti tolong bikinin mamak Wasap, ya. Semua ibu-ibu sudah punya itu."
Jadilah hari itu aku sibuk mengunduh aplikasi yang menjadi media sosial satu-satunya di ponsel mamak, kemudian mengajari cara penggunaannya. Mamak pun akhirnya bisa mengirim hasil swafotonya ke bapak yang bekerja di ibukota sejak sembilan bulan yang lalu.
"Anak mamak memang pintar!" Mamak mengecup pipiku tanpa aba-aba dengan senang. Aku terkejut bukan main dan segera mengelap bekas basah di pipiku. Agak seram juga melihat mamak yang biasa mengomel, menjadi sebaik itu sejak punya ponsel.
Untung saja Laras tidak melihat kami. Bisa-bisa dia menganggapku anak mamah.
Meski harus kujelaskan berulang kali sampai seminggu kemudian tentang cara mengirim pesan; apa itu ceklis satu, dua, dan ceklis biru; dan bagaimana cara menelepon serta melakukan panggilan video, mamak tidak pernah bosan untuk berlatih dengan sabar. Sepulang berjualan sayur matang keliling desa, mamak pasti langsung menghampiri anaknya yang pengangguran ini dengan suasana hati yang bagus.
Aku benar-benar berpikir mamak se-gaptek itu sampai tiba-tiba di Sabtu sore saat menyapu halaman masih menjadi rutinitasku, mamak mengatakan hal yang seharusnya tidak diketahui mamak tentang Guntur, teman sekolahku yang kini tinggal di luar negeri.
"Guntur sekarang hebat, ya, Mat. Kerja di mana dia? Bajunya keren. Pacarnya cantik," ucapnya dari kursi kayu di teras rumah.
Sapu lidi di tanganku tidak lagi mengibas dedaunan kering yang berserakan di halaman. Aku segera menoleh ke mamak. "Lihat di mana? Mamak bisa buka Wasap-ku?" tanyaku seraya memicingkan mata. Pasalnya, aku tidak pernah cerita apapun tentang Guntur sejak kami lulus. Aku juga tidak pernah memberi tahu kata sandi ponselku.
Mamak tidak menjawab pertanyaanku, malah seperti sengaja menguap. "Mamak ngantuk, Mat. Angin sore bikin ngantuk. Mamak masuk dulu, ya. Kau nyapu jangan lama-lama, sudah mau Maghrib."
Tanda tanya besar memenuhi kepala. Mamak memang pernah bertemu dengan Guntur karena anak kota itu pernah main ke rumah satu kali sepulang sekolah. Tapi, bagaimana mungkin mamak tahu tentang kondisi Guntur sekarang?
Kecuali mereka saling bertukar nomor di Wasap, atau mamak memang bisa membuka ponselku yang sudah dipasang kata sandi, atau ponselku yang sedikit eror. Karena informasi yang diketahui mamak barusan mirip sekali dengan status yang diunggah Guntur ke Wasap sekitar dua puluh menit yang lalu.
s e l e s a i.
______
Baca juga, yuk, cerita Sapu Lidi Mamak di akun origyumi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mamak (Nggak) Gaptek
Teen FictionMamak selalu tanya ini-itu tentang cara menggunakan ponsel barunya. Tapi, sepertinya mamak cuma pura-pura tidak tahu.