26. Orang-Orang Baik

402 24 3
                                    

Ketika bagaskara mengambil alih tempat purnama, makan kehidupan manusia pun kembali dilanjutkan. Aileen yang masih berduka atas kematian bibi nya, harus berusaha bangkit. Matanya membengkak, seragam sekolahnya sudah lecek akibat dari kemarin belum kunjung diganti.

"Gimana ini? Apa harus lanjut sekolah?" Aileen merenung sambil menenggelamkam kepalanya diantara lututnya.

Suasana hening di rumah itu kembali menyelimutinya. Tak sadar air matanya kembali jatuh. Dia sangat ketakutan. Dia tidak tahu harus bergantung kepada siapa lagi. Sebentar lagi umurnya akan dianggap legal. Dia tidak bisa berleha-leha jika ingin perutnya terisi.

"Ma, kenapa hidup seberat ini? Sakit sekali rasanya. Tidak ada tempat untuk bergantung." Aileen malah mengadu. Mengadu pada udara seolah ibunya mendengarkan.

Ketika sedang menangis, terdengar suara gedoran pintu dari pintu depan. Aileen menghela napas lalu mengelap air matanya. Siapa pula orang gila yang menggedor rumahnya di pagi buta ini?

"BUKA PINTUNYA AILEEN!"

Suara gedoran pintu semakin keras. Aileen sampai berlari dengan maksud supaya gedoran pintu tidak mengganggu tetangga.

Ketika membuka pintu, akhirnya Aileen menghela napas. Dia kira ada rentenir yang datang karena sangking brutalnya gedoran pintu. Ternyata memang orang gila.

"KOK LO LAMA BANGET BUKA PINTUNYA?!" Diaz melotot karena sangking paniknya.

Aileen mengerutkan dahinya.
"Kenapa lo? Sinting, ya?"

"GUE KIRA LO GANTUNG DIRI! Hampir aja mau gue dobrak ini pintu," jawab Diaz dengan wajah paniknya masih terlihat jelas.

"Gantung diri? Ngapain?" Aileen sampai kebingungan.

"Gak tau lah. Lo kenapa masih pake nih seragam?" Tanya Diaz dengan raut wajah yang sudah tenang.

"Baru bangun. Lagian kalo lo mau sekolah, duluan aja sana!" Aileen membuka pintu rumah lebih lebar dengan maksud mempersilahkan Diaz masuk.

"Duluan? Maksud lo apa?" Tanya Diaz.

"Gue nggak sekolah hari ini. Kepala gue pusing banget. Mau tidur aja gue hari ini." Jawab Aileen santai.

"Ngapain di sini sendirian? Yang ada makin sedih nanti. Ke sekolah aja lah, kalo nggak mau bolos? Kita pergi jalan-jalan." Diaz saat ini berusaha menghibur Aileen. Dia tahu Aileen itu orangnya gengsian. Tidak mau mengajak duluan. Maunya orang yang selalu memedulikan dirinya.

"Nggak ada duit gue. Lagian mulai hari ini harus hemat gue." Jawab Aileen sambil sedikit memalingkan wajah. Dia malu.

"Jangan bahas duit depan gue. Santai aja." Sahut Diaz.

"Gue nggak enak, Az. Semua orang bilang gue temanan sama lo cuman butuh duit lo doang. Gue jadi malu." Jawab Aileen.

"Elah, jangan dipikirin. Mulut manusia memang begitu. Makanya bibir itu menjorok ke luar, bukan ke dalam. Karena apa? Karena keseringan ngomongin orang. Bukan diri sendiri." Jawab Diaz.

"Lah, hubungan nya apa?"

"Yah, pokoknya begitulah. Kita temanan dari kecil. Nyokap lo juga ngerawat gue. Terus orang-orang beranggapan apa? Tidak punya ibu? Benalu yang menghisap hidup induknya?"

"Hal-hal kayak begituan jangan dipikirin, Leen. Kan kita yang jalanin. Selagi tidak merugikan mereka dan tidak menyimpang dari norma dan aturan, ngapain dipusingin? Jalanin aja." Diaz menasehati. Jujur saja, dia juga mengalami banyak cemoohan. Terlebih dari kalangan sosial atas. Makanya dia tidak suka bergaul dengan anak-anak seperti itu.

Mendengar perkataan Diaz, Aileen sedikit terharu. Dia terhibur dari rasa ketidakpercayaan dirinya, sampa-sampai dia menitikkan air mata. Sesaat dia merasa bangga mempunyai Diaz.

AILEEN (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang