Febuari 1944
Dini hari, seorang lelaki bermata sipit telah berdiri di depan salah satu jendela rumah keluarga Brawijaya yang menghubungkan dengan kamar Kinanti. Matanya melirik waspada, tak lupa mengenakan jaket hitam beserta kupluk nya.
'Tok.. Tok'
Jendela besar yang tak terlalu tinggi itu terketuk, menghasilkan bebunyian nyaring. Membuat seorang gadis yang tengah bergelung selimut terjaga. Kinanti duduk lemah, satu kakinya masih berada diatas ranjang. Ia mencoba menajamkan pendengarannya.
'Cklek....'
Gadis itu terperanjat, nyaris berteriak saat seseorang berpakaian serba hitam menyembul dari balik jendela. Belum habis keterkejutannya, sosok berbaju hitam itu meloncat gesit melewati jendela kayu yang sudah tercongkel itu.
"Sssttt.... kore ga watashidesu" (ini aku) Lelaki itu berucap pelan, nyaris berbisik. Jari telunjuknya berada di depan bibir tipis yang maju tiga centi. Hiro menurunkan jendelanya dengan sangat pelan, tak menimbulkan suara.
"Astaga! Mengapa kesini malam malam?" ucap Kinanti yang sedari tadi sibuk menyisir rambutnya dengan lima jari. Sedangkan tangan kiri gadis itu lincah membersihkan kotoran mata yang tersisa. Hiro tersenyum melihat tingkah gadisnya yang begitu panik.
"Tidak perlu seperti itu... Kamu tetap cantik di mataku!"
Bukannya memberi sambutan hangat, Kinanti justru berlari dan memeluk erat lelaki bertubuh jangkung itu. Ingin sekali rasanya gadis itu mengadu pada Hiro, betapa hampa hidupnya setelah kejadian itu. Kinanti sesenggukan seperti anak kecil yang menangis dalam pelukan kakak laki-laki nya. Hiro terkekeh mendapati Kinanti Brawijaya begitu merindukannya. "Jangan menangis lagi! Lihatlah.. matamu seperti panda."
Hiro mengangkat dagu kecil Kinanti, berusaha menatap iris legam yang selalu ia rindukan. Kinanti terlihat semakin menggemaskan ketika sedang berkaca kaca begini. Tubuh mungilnya terbalut piyama berwarna merah muda, dengan rambut yang berantakan.
"Kenapa baru menemuiku sekarang? Kau kemana saja! Kamu pasti bersenang-senang dengan perempuan diluar sana!" Gadis itu merajuk seperti anak kecil.
"Kenapa berkata begitu? Aku hanya sedang menyusun 'strategi' agar bisa menyelinap kerumah mu!" Hiro tertawa pelan, takut jika tawanya membangunkan seisi rumah, Kacau. Hiro mendudukkan dirinya di ranjang Kinanti yang berseprei biru langit.
Sambil menatap serius, bibir Hiro bergumam lagi.
"Kinanti, pemerintah pusat mengirimku ke Tasikmalaya dan bergabung dengan pasukan kempeitai untuk melawan rakyat. Kudengar.. Seorang tokoh agama bersama para santrinya melakukan perlawanan terhadap Nippon hingga menewaskan dua orang opsir. Dan mereka mengirimku kesana untuk membantu memadamkan perlawanannya."
"Begitu kah?" Mata Kinanti membulat. Gadis itu terlalu takut jika saja sesuatu yang buruk terjadi pada Hiro.
"Kalau begitu, pulanglah dengan selamat! Aku bersumpah tidak akan memaafkan mu jika sesuatu yang lebih buruk terjadi."
Hiro meremas pelan tangan Kinanti, menatapnya sendu. "Yakusoku shimasu.." (Aku janji)
"Lalu bagaimana dengan kita? Aku mulai putus asa. Besok pangeran Mahardika dan keluarganya akan datang, meminangku untuk menjadi istrinya.."
Rahang Hiro mengeras mendengar kalimat itu, rautnya datar.Ingin sekali rasanya membawa gadis itu pergi jauh sekarang juga, namun itu sama saja dengan bunuh diri.
"Hiro kau marah?" Kinanti bertanya pelan, terdengar seperti cicitan. Tak lama disapa hening, seulas senyum terkembang dari bibir Hiro.
"Nai.." (tidak)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐧 𝐖𝐨𝐫𝐥𝐝 𝐖𝐚𝐫 𝐥𝐥
Historical FictionCERITA SEDANG HIATUS Indonesia, 1943 Berwajah datar, dengan hati sekeras baja adalah pesona Nakamura Yamada Hiro. Putra seorang petinggi Dai Nippon yang diutus memimpin pasukan ditanah bekas jajahan Belanda. Hidup keras bukan lagi hal asing baginya...