Terhitung sudah tujuh kali, Shalika masuk ke ruangan ini setelah pertemuannya dengan Riza seminggu yang lalu. Ruang kamar yang sudah lebih dari tujuh tahun ditempati Panji.
Setelah mengetahui fakta dari Riza, Shalika langsung meminta pihak rumah sakit agar diperbolehkan mengambil alih penanganan Panji. Dan beruntung, dia diijinkan.
Tidak mudah memulai langkah ini bagi Shalika, rasa canggung dan bingung selalu mendominasi dirinya. Bahkan ini jauh lebih sulit ketimbang menangani pasien gangguan jiwa yang lebih parah.
Setiap Shalika masuk ke kamar, Panji langsung menunduk dalam-dalam. Dia akan terus diam meski Shalika memancing percakapan. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, setiap Shalika memberi pertanyaan.
Shalika tidak ingin putus asa, dari penjelasan dokter yang menangani Panji sebelum dirinya, beliau mengatakan bahwa Panji bisa diajak berkomunikasi normal. Apapun bentuk pertanyaan yang dilontarkan akan dijawab dengan baik. Dari situ Shalika semakin yakin bahwa keterdiaman Panji saat ada dirinya bukan karna faktor gangguan jiwa tapi lebih ke arah malu, takut dan minder pada Shalika.
Hari ini, Shalika akan sedikit cerdik dari hari-hari sebelumnya.
Nampan berisi makanan dan obat sudah siap di tangannya. Shalika membuka pintu ruangan pelan. Tampak Panji menoleh ke arahnya, tapi langsung buru-buru memalingkan wajah lalu menunduk seperti biasa.
Shalika tidak mempedulikan sikap laki-laki di hadapannya. Dia meletakkan nampan di atas meja lalu berjalan mendekat ke arah tempat tidur Panji.
Panji yang sejak tadi hanya berdiam di pojok tempat tidur dengan posisi menunduk, tetap tidak bisa mengabaikan langkah perempuan yang masuk ke dalam ruangannya itu. Apalagi langkah Shalika sedikit demi sedikit mampu mengikis jarak di antara keduanya.
Panji semakin tidak bergeming saat Shalika berhenti di depannya. Perasaan takut, malu, minder canggung dan bingung tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Tidak ada interaksi apa-apa sampai sepersekian detik hingga akhirnya... Bruk!! Panji terbelalak saat tubuh Shalika tergolek lemah di lantai.
Panji dengan cepat beranjak dari duduknya, menggapai tubuh perempuan yang sangat dikaguminya itu bahkan sejak SMA.
"Sha-Shalika..?" Panggilnya pelan, nada suaranya bergetar barangkali dia pun merasa tidak pantas memanggil nama Shalika.
"Shalika, bangun!" Ujarnya lagi sambil menepuk pelan pipi Shalika.
Tidak ingin berfikir terlalu lama, serta dengan penuh kesadaran, Panji segera mengangkat tubuh Shalika dan membaringkannya di atas tempat tidur yang biasa laki-laki itu tempati.
Begitu gaduh pikiran Panji saat ini, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ingin beranjak keluar kamar dan meminta pertolongan dirasa tidak mungkin. Akhirnya Panji hanya mengambil sebotol minyak angin yang kebetulan terletak di meja.
Baru saja akan mengoleskan minyak di dekat hidung Shalika, tiba-tiba kedua mata Shalika justru terbuka lebar diiringi kekehan pelan dari perempuan cantik itu.
Panji langsung beranjak mundur demi menjaga jarak dengan Shalika. Dia pun tidak menyangka respon perempuan di hadapannya justru begitu santai. Atau barangkali memang dari awal perempuan itu ingin mengerjai? Batin Panji.
"Haii!!" Sapanya begitu girang. Bahkan tangannya melambai-lambai seperti kekanakan
"Ternyata kamu tuh tahu namaku ya?" Ujar Shalika sambil beranjak dari kasur. Panji membeku di tempatnya.
"Jadi kenapa setiap kali aku masuk ke sini kamu cuma diam aja? Nggak asyik banget!" Cibir perempuan itu membuat Panji semakin menunduk.
"Tuh kan, jadi diam lagi. Ya udah aku pingsan aja deh!" Shalika kembali berbaring lalu memejamkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a Crazy Love
Literatura Feminina[CERITA LENGKAP] "Besok, kalo udah mentok dan nggak ada laki-laki yang mau serius sama lo, cari gue!" "Hah.. Maksudnya?" Alih-alih menjelaskan apa maksud ucapannya, dia justru pergi begitu saja. ................................. Di da...