I ' M H E R E .

21 4 0
                                    



A/N kudu dibaca ye [bakal banyak banget editan karena saya gak ngecek ceritanya]




Pening.

Pikirannya soal rapat pagi ini berjejalan masuk sejak kelopaknya tertutup pukul dua malam. Remaja dulu, Athaya nyaris tidak pernah bermimpi buruk, apalagi sampai mencari jalan keluar di gedung persis seperti Lawang Sewu macam malam tadi.

Marah.

Athaya marah sekali ketika melihat blouse kesayangannya ketumpahan susu cokelat milik putranya. Namun hati berbisik, meredam segala rentetan mengisi penuh diujung lidah. Buatnya mengganti ulang pakaian formal itu.

Jengah.

Seharusnya Athaya tidak menolak tawaran Halim untuk mengantarnya sampai lobi utama kantor. Ia malah pergi menuju stasiun kereta padahal Athaya tahu, kalau pukul segini gerbong kereta penuh sesak.

Ikatan.

Janji-janji makan siang dengan kolega kantor, rapat kecil setelah kepala bagian mengeksekusi anak baru di depan banyak orang, menghubungi kabar anaknya diwaktu luang, atau berpikir soal Halim dan anaknya makan apa.

Menangis.

Berat sekali rasanya, menitikan air mata terlebih di depan suami, sebuah rasa malu membendung besar dalam diri, membuat Athaya tetap tersenyum dibalik tenggorokan yang tercekat.

Dan begitu lagi. Setiap hari. Tiap minggu. Sampai detik ini.

Sakit.

Racun ini membunuhnya perlahan. Impiannya untuk hidup genap seratus tahun tampaknya akan jatuh genap tiga puluh tahun.

Tidak ada janji-janji manis di dunia ini. Tidak cuma dunia, kepribadian pun sama fananya. Athaya menyesal telah menerima buku dongeng kala cilik dulu, otaknya termakan dunia fiktif.

Semesta bertindak lagi, tangannya mendorong ganggang pintu, menimbulkan suara gesekan halus dengan ubin marmer pilihan Halim. Malam ini terasa panjang, sama seperti silam yang sudah berlalu.

Lantas pintu kamarnya, suasana rumah dari lantai satu sampai ruang tengah lantai dua begitu sepi dan sunyi. Athaya mengernyit, ini bukan waktu tidur putranya.

"Sepi." Gumamnya nyaris tidak bersuara.

"Nussa dibawa Kenan. Dia sekeluarga mampir tadi siang." Halim menjawab.

"Oh." Lalu ia melepas blazer-nya. "Kamu udah makan?" Athaya bertanya, lebih kearah spontan dari pada inisiatif.

"Nunggu kamu." Balasan Halim biasanya dibalik dengan segala argumentasi galak-agak-perhatian milik Athaya. Tapi sebulan ini, rasanya tak kuasa menguras emosi lebih dari dua puluh persen.

Sang istri tidak menjawab, tetap fokus melucuti atasan luarnya. Sebulan ini Halim menahan segalanya, termasuk bertanya sebab dari wajah kusut istrinya. Kemarahan Athaya tidak sebanding dengan repetan ibu-ibu bergosip. Diam dan tajam, kunci dari kemundurannya buat bertanya.

"Ta."

"Apa?"

Menusuk sekali. Halim sampai menenggak ludah. "Mau biacara?"

"Nggak."

Nggak mungkin, tebaknya. "Aku tahu kamu ada apa-apanya."

"Kamu bukan dukun, Halim."

Fragmen ImpresiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang