Prolog

12.9K 669 14
                                    

z

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

z

Renata tertegun menatap Bagastya. Mereka kini duduk berseberangan dipisahkan meja makan. Lelaki berusia tiga puluh tahun yang telah empat warsa menjadi suaminya itu hanya memandangi map plastik berwarna putih susu yang berisi bukti gugatan serta daftar berkas yang harus disiapkan untuk mengurus perceraian. Disentuh pun tidak, apalagi dibaca. Ia bahkan memasang mimik wajah datar seolah tengah menanggapi kabar tidak penting. Mimik wajahnya saat membaca koran bahkan lebih 'hidup' dari saat ini.

Renata mendorong sebuah map berwarna kuning ke arah Bagastya hingga berada tepat di depan tubuh lelaki berperawakan sedang itu. "Nih, dibaca baik-baik, jangan sampai enggak paham."

Bagastya memandang istrinya sejenak. Sorot matanya jelas-jelas menunjukkan rasa tidak terima. Ia tidak pernah menduga bahwa Renata bersungguh-sungguh dengan ancaman untuk mengajukan gugatan cerai. Pernikahan mereka memang diwarnai pertikaian tiada ujung. Ia bahkan telah memiliki kekasih untuk menghibur hati. Akan tetapi bercerai? Oh, tidak!

"Kamu kenapa, sih?" cecar Renata.

Bagastya mengerjap. Wanita di depannya sebenarnya sangat cantik. Wajahnya oval, matanya lebar, hidungnya runcing mancung, dan bibirnya tipis. Kata orang, wanita yang memiliki bibir tipis itu judes dan bawel. Ia tidak percaya. Selama tiga tahun pacaran dengannya, sikap Renata manja-manja manis, bak kucing yang menempel pada tuannya. Ia baru tahu bibir tipis itu bisa mengeluarkan kata-kata pedas setelah pernikahan mereka menginjak tahun kedua.

"Aku lapar," cetus Bagastya tanpa memedulikan kekesalan Renata.

"Bagas! Kita baru membahas perceraian. Jangan mengalihkan pembicaraan!"

"Aku enggak bisa mikir kalau lapar!" Ikut meninggi juga suara Bagastya. Ia pulang dari kantor sedianya berharap untuk memanjakan perut yang kosong. Namun, bukan santapan yang terhidang di meja, melainkan gugatan cerai.

"Aku enggak masak. Mulai sekarang, kita makan sendiri-sendiri dan tinggal terpisah!"

"Loh, kita kan udah pisahan. Mau pisah gimana lagi?"

Renata menatap tajam. "Maksudku pisah rumah, bukan pisah kamar!"

"Loh, terus aku tinggal di mana, dong?"

"Terserah!"

Bagastya melengos seraya mengembuskan napas kasar.

"Kenapa enggak ke rumah Dewi aja? Sekalian nikahan di sana?" tantang Renata.

"Aku nggak mau serumah sama Dewi."

Renata mengerutkan kening. "Kamu udah pernah kumpul sama dia, kan? Kenapa nggak mau serumah?"

"Enggak!"

"Apa bedanya?"

"Nggak asyik. Nanti cepat bosan. Enakan di sini, kalau kangen atau kepingin ... ehm ... baru ke tempat dia."

"Bagastyaaaa! Kamu mau membunuhku? Teganya ngomong begitu!" Renata memekik dengan emosi memuncak. Sementara yang diteriaki hanya meringis tanpa merasa dosa.

"Itu gunanya istri muda, Sayangku. Istri tua untuk keamanan dan kestabilan hidup. Istri muda untuk bersenang-senang."

Renata sudah beberapa kali mendengar alasan itu. Tetap saja, saat mendengarnya kembali, dadanya naik turun tidak karuan. Sudah setahun pernikahan mereka membara bagai neraka. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari. Penyebabnya klasik, Bagastya jatuh ke pelukan wanita lain. Padahal selama ini yang banyak membanting tulang adalah Renata. Bekerja sebagai agen di perusahaan sekuritas, Renata menghandel klien-klien bermodal tebal. Bila beruntung, ia bisa mendapatkan tip yang sangat lumayan.

Lumayan dalam hal ini bukan hanya cukup untuk membeli baju, tas, atau alat rias, akan tetapi bisa untuk membeli sepetak tanah lalu membangun rumah kecil di daerah ekslusif di Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan.
Gaji Bagastya yang ASN di Kota Tangerang tidak bisa menandingi penghasilan Renata. Barang kali, itulah alasan utama Bagastya mencari perempuan lain yang inferior. Di depan Renata, keluhan yang selalu diungkapkan lelaki itu adalah sang istri tidak menghargai dan mencintai dirinya lagi. Renata telah menginjak-injak martabatnya sebagai lelaki.
Sudah pasti Renata tidak terima dituduh seperti itu. Yang namanya selingkuh, tetaplah selingkuh. Bukankah mereka sudah berjanji untuk tidak menduakan pasangan? Mengapa sekarang Bagastya ingin menikah kembali? Oh, Renata tidak rela. Biar bumi berputar terbalik, ia tak sudi dimadu!

"Kamu seharusnya senang aku bilang jujur apa adanya, nggak berbelit-belit kayak orang lain. Coba kayak si Andi itu, uh, pusing sendiri berhohong sana sini. Aku kan simpel. Mau begini, ya, aku bilang begini. Mau begitu, aku akan bilang seperti itu," lanjut Bagastya.

"Bagastya! Cukup sudah kamu menyiksa aku dengan perselingkuhan, sekarang malah ngomong seperti itu tanpa merasa bersalah! Dasar lelaki hidung belang!" Kalimat itu dilanjutkan Renata dengan menyebut segala binatang yang melata di muka bumi.

"Heh! Dengar, ya. Aku nggak salah kalau punya istri lagi. Justru kamu yang salah kalau menghalangi!"

***

Bersambung....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OTW MenjandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang