Bab 2

395 74 0
                                    

Aku sangat yakin dia gadis yang tadi pagi aku temui di bus. Wajahnya masih terekam jelas dikepalaku. Saat mencoba tersenyum kepadanya, dia memalingkan wajah. Mungkin dia tak ingat denganku. Sayang sekali.

"Udah makan belum?" Theo mengibas-ngibas permukaan meja di sampingnya sebelum Ara duduk.

Ara menggeleng kecil lalu duduk di samping Theo dengan kikuk.

Theo menyodorkan roti di tangannya. Ara menerima roti itu lalu menggigit bagian yang belum dimakan Theo.

"Oke kan?"

"Oke." Aku tesentak kaget mendengar suaraku sendiri. Kenapa aku mengiyakan Jimmy begitu saja?

Jimmy tersenyum lebar. "Tenang aja nggak harus menang. Yang penting partisipasi."

"Bentar. Ini soal apa?" aku mulai panik.

"Dua minggu lagi ada ulang tahun sekolah. Malemnya ada konser tapi paginya ada lomba dan tiap kelas harus ada perwakilannya. Minimal tiga orang yang tampil. Masalahnya anak kelas kita nggak ada yang mau ikut, jadi yang bakal tampil gue, Theo sama lo." Jimmy menunjuk dirinya, Theo, dan aku bergantian. "Kita ngeband."

"Akustik." ralat Theo. "Nggak ada drumer kalau mau ngeband."

"Gue bisa nge-drum." Jimmy tak terima.

Theo berdecih. "Lo kajon aja yang gampang."

Jimmy menggembungkan pipinya jengkel. "Theo bakal nyanyi sama main gitar, lo main piano. Gue kajon."

"Tapi gue udah lama banget nggak main piano."kemampuanku pasti sangat menurun.

"Itu anak baru kelas gue." Theo berkata manis pada Ara. Gadis itu melirikku sekilas dengan mata besarnya."Lo bisa kan ngajarin dia? Katanya dulu dia pernah main piano."

Ara menelan roti yang digigitnya kecil-kecil. Matanya yang besar kembali merilikku. Gadis itu kembali menggit roti, lalu mengangguk kecil dengan wajah datar seolah terpaksa setuju.

*

Sepulang sekolah aku dipaksa pergi ke rumah Jimmy untuk latihan perdana. Aku dibawa ke sebuah rumah besar bercat putih dengan halaman yang sangat luas. Aku, Jimmy, dan Theo berjalan menyusuri jalan setapak halaman, tak masuk ke dalam rumah. Kedua orang itu malah membawaku ke bangunan terpisah yang ada di bagian belakang rumah. Dari luar bangunan itu terlihat seperti sebuah rumah. Di depan pintu ada papan nama berwarna putih yang digambari partitur.

"Ini basecamp kita" bisik Theo yang ada di sampingku.

Dari luar bangunan itu terlihat seperti sebuah rumah. Di depan pintu ada papan nama berwarna putih yang digambari partitur. Temboknya bercat abu-abu dengan pintu kayu yang tinggi.

Aku tak berekspektasi apa-apa, tapi begitu pintu kayu terbuka mulutku otomatis ikut terbuka. Basecamp itu luar biasa. Terdiri dari satu ruangan luas yang didominasi warna putih dan warna kayu.

Ditengah-tengah ruangan terdapat satu sofa panjang coklat, dua buah kursi berlengan dan sebuah meja bundar. Di ujung kanan ruangan ada ruang untuk meletakkan alat musik seperti gitar, kajon dan sebuah piano upright. 

Disisi kiri ada seperangkat computer beserta kursi gamming dan sedikit ruang dipojok lainnya sebagai dapur kecil. Aku bisa melihat kulkas kecil dan microwave yang diletakan diatas pantry.

Aku dan Theo duduk diatas sofa. Jimmy mengambil tiga kaleng soda dari kulkas kecil di pojok ruangan lalu mengulurkannya padaku dan Theo sebelum dia duduk di kursi berlengan.

"Nah, mulai dari mana?"Jimmy terlihat bersemangat.

"Lagu dulu." Theo bersandar sambal minum, lalu bertanya kepadaku. "Lo bisa main lagu apa?"

ADAGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang