BAB 1

68.5K 4.1K 324
                                    

Perempuan berambut lurus sebahu itu mendesah berat di depan laptopnya saat melihat banyaknya angka-angka memenuhi layar. Dia sudah lelah sebenarnya, tetapi laporan keuangan hari ini belum juga selesai ia periksa dan hitung ulang.

Sejak memutuskan untuk membuka kafe kecil di tengah kota ia memang sering merasa kelelahan, tetapi mengingat kafenya ini cukup ramai dan tentunya menghasilkan pundi-pundi rupiah yang lumayan, ia jadi mengesampingkan rasa lelahnya dengan banyak rasa syukur kepada Sang Pencipta. Melalui bisnis kecil-kecilannya ini ia bisa menjadi tulang punggung bagi ibu dan adik perempuannya yang masih duduk di kelas dua SMP.

Maklum, dia adalah anak pertama dalam keluarga. Walau ia berjenis kelamin perempuan tetapi itu tak membuat beban tanggung jawabnya lepas begitu saja. Ayahnya sudah meninggal dua tahun yang lalu akibat rasa candunya pada minuman keras oplosan murahan yang banyak dijual di warung remang-remang sekitar rumahnya. Sedangkan ibunya hanyalah buruh cuci gosok yang pendapatannya jelas hanya cukup untuk membayar uang kontrakan kecil mereka. Adiknya? Tentu saja tidak mungkin diharapkan, karena dia masih terlalu kecil untuk menanggung beban berat seperti ini.

Karena semua hal itu, akhirnya membuat Adira Savina sudah menjadi tulang punggung keluarga dari ia masih berusia tujuh belas tahun. Bermula dari ia mencoba bekerja di warung kebab, lalu pindah ke toko sepatu di salah satu pusat perbelanjaan, lalu pindah lagi ke gerai Handphone, ia selalu merasa tak terlalu cocok kerja di tempat-tempat seperti itu. Entah karena bosnya, lokasinya, lingkungannya atau pun pegawai lain. Dia selalu merasa tak benar-benar betah kerja di semua tempat tersebut.

Akhirnya, Savina memutuskan untuk berbisnis sendiri. Dikarenakan zaman sekarang anak-anak muda sangat menyukai tempat-tempat yang bisa dijadikan tongkrongan santai dengan nuansa aesthetic serta harga menunya ramah di kantong. Jadilah ia langsung terpikirkan ide untuk membuka sebuah kafe minimalis yang harga menunya dibuat seramah mungkin untuk kantong para anak remaja serta mahasiswa.

Modal untuk menyewa ruko yang ia jadikan kafenya ini pun ia pinjam dari budenya. Untung saja dari awal sumber bisnisnya ini cukup ramai, jadi ia dapat sedikit-sedikit membayar hutang modal tempat ini kepada sang bude setiap bulan.

"Sav, udah jam delapan nih. Pulang aja yuk," ajak seorang perempuan lain di ruangan tersebut.

"Bentar lagi, Rin. Udah lo kalau mau duluan, duluan aja."

"Ya ampun, Savina! Lo liat coba kantong mata lo itu, nggak usah maksain diri kayak gini, Sav."

Perempuan yang dipanggil Savina itu menghela napas pelan sebelum mendongak menatap lawan bicaranya. "Iya, bentar lagi gue juga pulang Maurinda Sayang. Lo jangan berisik makanya, biar gue cepet selesaiin nih kerjaan."

Maurin berdecak keras mendengar kalimat Savina barusan, tapi tanpa banyak protes lagi ia pun akhirnya diam tak mengganggu sahabatnya yang masih setia menatap layar laptopnya.

Tak berapa lama Savina pun menutup laptopnya seraya meregangkan kedua tangannya ke atas. "Alhamdulillah ... selesai juga," gumamnya.

Maurin yang melihat itu langsung berdiri dan mengambil tas kecilnya di atas meja. Perempuan berambut bergelombang itu mengerutkan keningnya saat melihat Savina yang kini malah sibuk memainkan ponselnya.

"Ayo, cepet!"

Savina memutar bola matanya malas seraya mematikan ponsel serta memasukkan beberapa barang-barang yang terdapat di atas meja ke dalam tas ranselnya. Saat tangannya menyentuh cover novel berjudul Too Late yang baru dua hari lalu selesai ia baca hingga tamat, ia sedikit menimbang-nimbang apakah perlu membawanya ke rumah atau tidak.

"Savina!"

Akhirnya ia pun turut memasukkan novel itu ke dalam ranselnya.

"Ck, marah-marah mulu sih, lo."

Nala with Her Second Chance (ON GOING) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang